Kamis, 18 Juni 2015

Sakitnya Tuh di GIGI...



Sakit gigi. Sakit ini sudah aku rasakan beberapa hari ini. Berawal dari keasyikan saya makan lanting: makanan asli banyumas, yang terbuat dari singkong, berbentuk seperti cincin atau mungkin anting dan berstruktur keras. Mungkin karena bentuknya yang seperti anting, maka makanan ini dinamai lanting. Ya, berawal dari keasyikan makan lanting, yang sadar atau tidak sadar, pada saat proses pengunyahannya, menyenggol salah satu gigi yang berlubang lumayan dalam, maka berakhirlah dengan sakit gigi. Eh entah ini di sebut berakhir, atau malah berawalnya sakit gigi. Ah terserah dari sudut pandang mana kita ingin melihat ujung dan pangkalnya. Intinya adalah pada saat ini saya sakit gigi. Titik.
Ya, sakit gigi yang tadinya hanya nyeri karena tersenggol makanan super keras (untuk pernyataan ini, saya akui bahwa saya lebay), menjalar menjadi sakit gigi yang lumayan serius. Tidak hanya terasa nyeri kecil, akan tetapi sakit yang lumayan menyiksa. Mungkin proses yang dijalani oleh sakit ini memakan waktu hingga 3 hari. Rasa nyeri kecil itu tidak terlalu saya hiraukan, karena saya sedang disibukkan oleh banyak hal. misalnya saja, saya sedang sangat sibuk membaca buku untuk penulisan tesis saya. Ya walau lebih sering kegiatan membaca itu saya interupsi, dengan dengkuran hebat di atas kasur. Atau kesibukan lain saya, yang ada hubungannya dengan kegiatan membaca tadi, yaitu mengetik tesis. Yang sama-sama sering diinterupsi oleh hal yang sama dengan yang saya lakukan pada saat saya membaca, yaitu tidur. Atau kesibukan saya untuk melakukan kerja-kerja domestik, seperti mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu, melipati pakaian, menyirami dua tanaman anggrek saya yang hampir layu, dan sedikit memasak mie instan (gas di dapur sudah habis, dan saya belum membelinya hingga saat ini. Itulah mengapa saya cuma bisa masak mie instan di rice cooker. Semoga alasan ini terdengar logis). 
Selain itu, sesungguhnya saya masih punya banyak daftar pekerjaan, yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu, misalnya mandi, sikat gigi, menyisir rambut dll. Eh, saya juga memiliki kesibukan lainnya, yang lumayan sangat penting. Yaitu memikirkan jenis makanan apa yang hendak saya beli. Hey! Itu pekerjaan yang berat. Bayangkan saja, di saat perut melilit karena lapar, pikiran saya masih saja sibuk dengan segala macam pertimbangan. Misalnya saja, di satu waktu saya bisa saja memiliki keinginan untuk memakan banyak ragam makanan sekaligus, akan tetapi pertimbangan ekonomi tidak mengijinkannya. Atau ada kalanya saya sangat ingin makan makanan sehat, namun apa daya, di warung tidak ada makanan yang sehat, semua memakai penyedap rasa, dan diolah melalui proses penggorengan. Dan di kali yang lain, saya sama sekali tidak ingin makan apapun, tapi perut sudah perih minta diisi, maka saya pun sibuk membujuk pikiran untuk mau makan, serta merayu kaki agar mau untuk cepat-cepat keluar kost, dan membeli makan, hanya agar saya tidak jatuh pingsan karena kelaparan.
Nah kembali pada pembahasan mengenai sakit gigi. Sakit ini ada kaitannya dengan pembahasan terakhir. Pembahasan mengenai makanan. Setelah saya abaikan, nyeri kecil di awal tadi, ternyata semakin hari semakin menjadi. Si nyeri protes karena tidak diperhatikan! Ia berubah menjadi monster besar yang menyakitkan. Terlebih lagi, saat nyeri melanda, saya masih memaksa gigi itu untuk mengunyahkan tiap makanan yang masuk ke dalam mulut saya. Mungkin si gigi berkata “kurang ajar! Udah lah gue gak diperhatiin, eh malah masih dipaksa kerja keras! Dah gitu, ngunyah makanannya pake lama pulak. Ini orang kayanya mesti dikasih pelajaran. Biar kapok dan gak semena-mena sama gue!” dan alhasil, setelah proses pengabaian dan pemaksaan…eng ing eng! Saya resmi sakit gigi. Duh rasa sakitnya bombastis sekali. Seperti ada yang mengambil ketenangan dan kenyamanan hidup saya, dengan ganasnya. Namun pengambil ketenangan dan kenyamanan itu tidak bisa saya serang balik. Huh! Rasanya gemas-gemas gimana gitu. Bila dikehidupan nyata, ada subyek yang menyakiti saya, mungkin bisa saya kasih bogem mentah. Ya, untuk sekedar melegakan perasaan, walau tidak mengurangi rasa sakit yang saya alami. Tapi lihatlah kenyataan ini! Subyek itu berada pada diri saya sendiri. Masa saya bogem tuh gigi? Lha yang modar kan saya sendiri. 
Ya pada akhirnya, yang saya lakukan hanya mencari obat pereda rasa sakit. Saat obat itu tidak jua dapat menolong saya, akhirnya mekanisme terakhir adalah pasrah. Saya berusaha menikmati rasa nyut-nyutan yang berasal dari gigi geraham sebelah kanan, yang urutannya berada di bagian kedua dari belakang. Rasa nyut-nyutan, yang merampas saya dari segala kesibukan saya. Rasa nyut-nyutan yang mulai menjalar ke kepala dan organ tubuh lainnya. Dan juga rasa nyut-nyutan yang saat ini jauh lebih berkuasa dari apapun juga, bahkan mungkin lebih berkuasa dari presiden kita, Joko Widodo. Halaaaaah. Wassalam.


Kamis, 11 Juni 2015

Museum, Aku Cinta Padamu



sumber photo: www.yogyakarta.panduanwisata.id

Museum. Apa yang pertama kali terlintas di dalam kepala kita saat kata itu disebutkan? Gedung yang memamerkan benda-benda yang umurnya jauh lebih tua dari usia kita? Atau bangunan yang mempertontonkan hal-hal yang begitu-begitu saja? Kesan itu umum diungkapkan oleh banyak orang, yang mungkin pernah sekali atau dua kali dalam hidupnya bersentuhan dengan museum. Kesan kuno, monoton, membosankan, suram atau bahkan mungkin juga seram, menempel dengan lekat dalam ingatan mereka. Lantas siapa yang mendatangi museum-museum itu? Kebanyakan adalah murid-murid sekolah yang mendapat tugas untuk membuat laporan kunjungan, saat mereka ikut kegiatan wisata belajar. Jadwal kunjungan museum pun, terkadang hanya sebagai jadwal wajib. Agar kesan belajar saat melancong itu pun tetap dianggap sah secara intelektual. Alih-alih mempelajari secara serius apa yang ada di museum, para murid jauh lebih menantikan untuk bertandang ke objek wisata alam, atau malah ke objek wisata belanja, yang dirasa lebih menyenangkan.


Memang menyedihkan mengetahui hal tersebut. Serasa ada tamparan keras di muka kita. Akan tetapi, itulah kenyataannya. Kita tidak bisa menutup mata, bahwa ketertarikan para murid atau masyarakat umum, belum begitu tinggi pada museum. Titik ini semestinya menjadi titik evaluasi untuk memeriksa, apa penyebab dari kondisi tersebut. Menurut Statuta International Council of Museums, museum adalah sebuah lembaga nirlaba, yang bersifat tetap untuk melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, agar dapat memperoleh, merawat, meneliti, mengkomunikasikan serta memamerkan aset-aset berharga yang merupakan warisan bagi kemanusiaan dan lingkungan, untuk tujuan pendidikan, pembelajaran dan rekreasi (kesenangan). Melalui definisi tersebut, kita telah mendapat gambaran lengkap mengenai posisi museum sebagai medan  vital bagi kemanusiaan. 


Harus diakui bila fungsi pendidikan dan pembelajaran sudah dapat dicapai oleh museum. Museum jelas berada di garda depan, selayaknya institusi pendidikan. Namun, apakah fungsi rekreasi atau kesenangan sudah dapat dicapai? Saya kira belum. Itulah alasan mengapa jumlah pengunjung museum tidak jua meningkat secara signifikan di setiap tahunnya. Ya, walau sebenarnya kuantitas pengunjung, tidak dapat menjamin kualitas dari pembelajaran yang didapatkannya. Akan tetapi dengan menjaring lebih banyak pengunjung, maka kesempatan museum dalam memfungsikan dirinya sebagai bagian dari pendidikan akan terbuka lebih luas. 


Ada banyak kerja penataan yang mesti dilakukan oleh pengelola museum, misalnya saja di bidang penyajian,  display ruang pamer yang artistik dan ditunjang media informasi berteknologi canggih, diharapkan dapat membuat pengunjung lebih asyik mempelajari berbagal hal yang berkaitan dengan benda pamer. Atau dengan setting benda pamer yang menarik, dengan tata cahaya yang tidak biasa, akan mampu memanjakan pengunjung secara visual. Pengelola tidak perlu mengubah museum selayaknya taman bermain, untuk menarik minat banyak orang. Namun akan lebih baik bila fasilitas museum dibuat jauh lebih nyaman lagi, dan dengan tetap mempertahankan karakter khas dari museum itu sendiri.


Selanjutnya di bidang pelayanan, terutama pada akses informasi. Tidak dipungkiri, melalui pelayanan informasilah kita dapat mengetahui sejarah dan seluk beluk lainnya mengenai benda pamer.  Informasi lapis pertama adalah informasi yang dipublikasikan melalui laman yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas, misalnya saja website dan media sosial (twitter, facebook, dan youtube). Sedangkan informasi lapis kedua adalah informasi yang diberikan langsung di dalam ruang pameran, baik oleh pemandu, atau oleh media informasi yang telah disediakan. Harapannya adalah agar mekanisme pewarisan sejarah pengetahuan dapat dicapai secara optimal.


Yang terakhir di bidang jaringan, sangat perlu kiranya memelihara jaringan lokal, nasional dan internasional untuk pengembangan standar museum, sehingga sumbangsih museum pada masyarakat dapat diberikan secara maksimal. Ada forum komunikasi yang terpelihara secara berkelanjutan dan baik antar museum, institusi dan komunitas pencinta museum. Pentingnya menggandeng komunitas pencinta museum adalah karena minat mereka lah, nadi museum dapat didenyutkan kembali dengan lebih cepat. Melalui perpanjangan tangan mereka, jumlah peminat museum dapat terus ditingkatkan. Mereka  semacam agen yang dapat menyebarkan virus cinta museum pada banyak orang. Mungkin salah satunya adalah saya. Ya, saya mengakui bahwa saya memiliki kecintaan yang tinggi pada museum. Selalu ada hal baru yang mengejutkan sekaligus menyenangkan saat berkunjung ke museum. Selayaknya pasar yang ekletik, saya seperti sedang berbelanja hal-hal yang tak terduga. Di sana saya mengkonsumsi sesuatu, yaitu pengetahuan.  Itulah alasan mengapa saya mencintai museum. Ya…Museum, aku cinta padamu.

Kamis, 11 September 2014

Buruh di Cina, Apa Kabarmu?




Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya (tulisan yang dibuat sekitar 2 tahun yang lalu), yang menghadirkan Cina sebagai fokus utama. Pada tulisan sebelumnya, ada banyak pertanyaan mengenai keadaan buruh di Cina, terutama pertanyaan mengenai adanya kemungkinan terjadinya eksploitasi yang jauh lebih tinggi, yang dialami oleh buruh di Cina, di bandingkan negara-negera berkembang lainnya. Mempertanyakan hal tersebut rasanya sangat wajar, apalagi setelah melihat Cina sebagai salah satu negara berkembang, telah mampu membuktikan pada dunia (dan bahkan Bank Dunia), bahwa perekonomian di negaranya mampu bangkit dan maju. Bahkan lebih maju dari negara berkembang lainnya. Namun apakah memang kemajuan Cina di ranah pertumbuhan ekonomi, berbanding lurus dengan kondisi yang dialami oleh buruh-buruhnya?
Kerja lembur berlebihan tanpa hari libur dalam seminggu, tinggal berjejal dalam asrama yang penuh sesak, serta berdiri terlalu lama sehingga kaki bengkak dan nyaris tidak bisa berjalan setelah kerja shift selama 24 jam. Itulah kehidupan sejumlah buruh yang mengaku bahwa mereka berkerja di pusat-pusat pabrik Apple di China. http://internasional.kompas.com/read/2012/01/27/14135424/Derita.Buruh.China.yang.Memproduksi.iPad
Pada medio Januari 2012, berita mengenai keadaan buruh di perusahaan-perusahaan pemasok Apple di Cina menjadi topik hangat di beberapa media massa dan media elektronik nasional maupun internasional (seperti yang dikutip dari pemberitaan Kompas di atas). Siapakah yang tidak mengenal Apple? Sebuah merk gadget terkenal di dunia yang hadir tidak hanya dengan kecanggihan proram yang menjadi andalannya, akan tetapi juga dengan prestise yang mengiringinya. Banyak pihak yang tercengang dengan pemberitaan yang muncul seputaran kondisi para buruh yang diperkerjakan oleh perusahaan-perusahaan pemasok merk terkenal tersebut. Keadan buruh yang begitu direndahkan dan berdaya tawar lemah, seakan tidak lagi memiliki pilihan atas keadaannya. Bila melihat kondisi tersebut, akan muncul pertanyaan, bila benar selama ini Cina menganut ideologi komunisme, yang menjunjung tinggi suara buruh, sebagai elemen utama dalam gerakan politiknya, tapi mengapa negara tersebut malah mengabaikan kondisi buruh, yang semestinya menjadi prioritas utamanya?
Kondisi buruh sebelum Cina membuka diri pada kehadiran sistem ekonomi pasar sangatlah berbeda dengan gambaran yang sempat dibahas di atas.  Hapir 30 tahun lamanya Cina hidup dengan sistem komunis, yang menaruh buruh pada posisi penting dalam gerakan politik dan ekonominya.  Para buruh hidup ‘aman’ di dalam iklim negara yang sangat berorientasi pada kesejahteraan buruh. Buruh adalah kekuatan terbesar yang menjadi penopang ideologi yang dianut negara tersebut. ‘sistem mangkuk besi’ adalah penggambaran yang paling tepat untuk melihat sistem penyediaan kenyamanan sosial bagi kehidupan buruh Cina pada kala itu. sistem kenyamanan itu berupa jaminan sosial untuk segala kebutuhan hidup buruh, jaminan A sampai Z, semua disediakan dan diberikan oleh negara kepada buruh. Perusahaan-perusahan negara adalah pemegang produksi terbesar, dan juga termasuk penyerap tenaga kerja terbesar di masa tersebut.
Namun keadaan itu kemudian menjadi berbanding terbalik, di kala masa pemerintahan Den Xiaoping (1904-1997), yang terkenal dengan kebijakan ‘reformasi dan membuka diri’. Keterpurukan Cina di masa sebelum Xiaoping, terutama keterpurukan ekonomi dan budaya, mengantarkan negara tersebut pada kondisi yang memaksanya untuk membuka diri pada dunia luar. Termasuk juga pada sistem ekonomi yang berlaku secara global. Kebangkrutan perusahaan-perusahaan negara, menuntut adanya reformasi di bidang tersebut. Termasuk langkah-langkah seperti pemutusan hubungan  kerja dengan buruh secara besar-besaran mulai melanda di hampir seluruh wilayah Cina. Langkah lainnya untuk mengatasi keadaan itu adalah dengan melakukan privatisasi  perusahaan-perusahaan negara, yang dengan jelas mengalihkan kepemilikan perusahaan ke tangan swasta.
Keterkejutan dan kekhawatiran muncul secara masif, mendorong banyak buruh melakukan protes terhadap kebijakan semacam itu. Namun buruh sudah mulai terpinggirkan posisinya. Kemiskinan dan kebutuhan untuk menyetabilkan kondisi perekonomia, telah memaksa Cina untuk tidak lagi menempatkan buruh secara istimewa. Nasib buruh tidak lagi dimanjakan oleh negara, akan tetapi diserahkan kepada tangan-tangan para pemilik perusahaan (swasta), yang memiliki kecenderungan terus meningkatkan keuntungan perusahaan, dan meminimalisir pengeluaran beserta kelonggaran-kelonggarannya, terutama yang berhubungan dengan jaminan kesejahteraan buruhnya (baik waktu kerja ataupun jaminan lainnya).
Nasib buruh semakin tidak pasti. Serikat buruh yang semula berada di bawah Partai Komunis Cina, beralih ke tangan para manager atau pengelola perusahaan. Sangat jelas bahwa kepentingan buruh tidak lagi dapat dibela oleh kekuatan yang dapat menjaga mereka. Kekuatan yang melindungi dari potensi eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh para pemilik atau pengelola perusahaan swasta. Keyakinan para buruh digoyahkan dengan hegemoni yang semakin menyudutkan posisi mereka selaku orang yang dipekerjakan, dan berada pada posisi di bawah para pengelola dan para pemilik perusahaan swasta.
Hegemoni pasar benar-benar telah merasuki baik buruh yang masih bekerja maupun mereka yang menjadi calon buruh. Buruh dan buruh bersaing satu sama lain untuk memperebutkan kesempatan kerja. Kalau toh mereka mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan, mereka cenderung untuk menyalahkan diri sendiri, bukan perusahaan, bukan pula negara. Dengan demikian, buruh di Cina saat ini tidak memperlihatkan semangat solidaritas kelas yang tinggi untuk mengubah struktur hubungan kerja yang tidak adil. (Wibowo, 2004: 201-202)
Mencermati kondisi buruh tersebut, muncul pertanyaan, lantas kemana semangat komunis dari negara Cina? Mengapa dalam sebuah negara yang menjadikan komunisme sebagai pegangannya, malah menghadirkan kapitalisme sebagai paham yang diterapkan dalam sistem ekonominya? Untuk siapa Cina membangun orientasi ekonominya? Untuk kestabilan ekonomi? Untuk upaya pembuktian pada institusi-intitusi global? Atau untuk rakyatnya yang sebagian besar adalah buruh, yang mulai terabaikan kesejahteraannya? Sungguhpun kesuksesan Cina dalam penguasaan produknya di pasar global, tidak benar-benar dapat diimbangi dengan upaya yang sama, untuk memberikan kesejahteraan para kaum buruhnya. Kontradiksi tersebut hadir sebagai suatu bentuk keterpaksaan dalam menghadapi globalisasi.

Minggu, 30 Desember 2012

Samin Melawan (Pabrik) Semen



“Tetap menolak terus. Kami pun berharap, mulai dari pemerintah dan pihak yang berkepentingan terhadap pabrik semen, harus lebih tahu bahwa di sini penolakan mulai meluas dan mulai serius."

         Petikan komentar yang tertulis di atas merupakan pernyataan dari Gunretno,  salah seorang tokoh masyarakat adat Samin di Pati, Jawa Tengah. Pernyataan tersebut dikeluarkan, berkaitan dengan sikap  penolakan masyarakat Samin terhadap rencana proyek pembangunan pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng, pada medio tahun 2008.

           Masyarakat Samin, atau yang sering juga disebut sebagai Sedulur Sikep, merupakan kelompok masyarakat yang menganut ajaran Saminisme, ajaran yang muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap praktek kolonialisasi yang diterapkan Belanda.  Ajaran samin pertama kali diperkenalkan oleh Raden Surowijoyo yang lahir di Ploso Kediren, pada tahun 1859. Ajaran Samin tersebar di beberapa daerah, antara lain di Tapelan di wilayah Bojonegoro, Nginggil dan Klopoduwur di wilayah Blora, Kutuk  di wilayah Kudus, Gunung Segara di wilayah Brebes, Kandangan di wilayah Pati, dan Tlaga Anyar di wilayah Lamongan.

             Apabila di India kita mengenal Mahatma Gandhi yang terkenal dengan ajaran Satyagrahanya, ajaran yang menginisiasi gerakan untuk melawan praktek penjajahan Inggris, dengan cara melawan monopoli garam oleh rakyat sipil. Maka di Indonesia, kita mengenal gerakan masyarakat Samin.  Ajaran ini pada mulanya merupakan sebuah reaksi keras terhadap keadaan yang menghimpit rakyat pada masa penjajahan Belanda. Pemerintahan kolonial pada masa itu mewajibkan seluruh rakyat untuk membayar pajak dan melakukan kerja paksa. Apabila menolak, mereka akan ditangkap dan disiksa. Tanah pertanian rakyat pribumi juga dirampas dan ditanami pohon jati, demi kepentingan pemerintah kolonial.

       Gerakan melakukan perlawanannya dengan jalan nirkekerasan, namun mampu memberikan efek yang mengejutkan, sekaligus menggelisahkan bagi pemerintahan kolonial Belanda di waktu itu. Kata Samin sendiri diambil dari filosofi kalimat “sami-sami amin” yang artinya rakyat sama-sama setuju, terutama ketika raden Surowijoyo melakukan langkah yang berani untuk membantu masyarakat miskin dengan caranya sendiri. Raden Surowijoyo, atau yang kerap dipanggil sebagai Ki Samin Soerosentiko mengajak para pengikutnya untuk menolak membayar pajak dan menolak untuk mengerjakan segala perintah dari para penjajah (heeren-diensten).  Bentuk perlawanan lain yang dilakukan oleh Ki Samin dan para pengikutnya adalah dengan menebangi pohon jati (yang ditanam dalam program tanam paksa Belanda), tanpa ijin dan mengambil untuk keperluan mereka sendiri. Sehingga keberadaan masyarakat Samin sangat jelas dianggap berbahaya oleh pemerintahan kolonial Belanda.

       Keberadaan masyarakat Samin pada masa kini, memang tidak sejaya dahulu, baik dari kategori jumlah maupun kekentalan ajarannya. Kemerosotan jumlah pengikut ajaran Saminisme ini terjadi seiring dengan semakin terbukanya masyarakat tersebut terhadap nilai-nilai modern, yang merangsek masuk dan melunturkan sendi-sendi nilai yang dianut sebelumnya. Akan tetapi di tengah gempuran modernitas yang masuk, masih ada beberapa komunitas masyarakat Samin yang tetap memelihara kepercayaan mereka, walau dengan sikap yang kompromis terhadap modernitas, sebagai bentuk jawaban atas tantangan jaman yang terus berkembang.

              Mereka masih menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, serta penghargaan terhadap manusia dan alam. Berdasarkan nilai-nilai tersebutlah, masyarakat Samin menentukan sikap penolakannya terhadap pendirian pabrik semen di wilayahnya. PT Semen Gresik, yang sahamnya sekitar 40% dikuasai oleh pihak asing, pada  sekitar pertengahan 2008 berencana untuk menanamkan modalnya melalui pendirian pabrik di Pati Jawa Tengah, tepatnya di wilayah pegunungan Kendeng.  Wilayah Kendeng yang merupakan wilayah pegunungan karst,  merupakan sumber potensial bagi pabrik semen. Rencana ekspansi ini didorong oleh pemenuhan kebutuhan semen di pasar nasional maupun internasional. Semen Gresik merupakan salah satu pemain penting dalam industri semen di wilayah Asia, Australia, Eropa, Afrika dan Eropa. Rencana pendirian tersebut sudah mendapatkan lampu hijau dari pemerintah setempat, karena bagaimanapun juga, pabrik tersebut akan memberikan peluang bagi peningkatan PAD (Pendapat Asli Daerah).

         Namun belajar dari beberapa pengalaman, di beberapa wilayah, dampak yang menjurus pada kerusakan ekologis, telah mematikan banyak sumber kehidupan dan penghidupan manusia serta mahluk hidup lainnya yang berada di wilayah pegunungan karst tersebut, seperti  kerusakan fungsi hidrologi (penyedia sumber air) dan penurunan tingkat kesuburan tanah. Selain itu, mata pencaharian  sebagian besar masyarakat di wilayah tersebut ada di sektor pertanian. Apabila tingkat kesuburan tanah menurun, maka akan mengakibatkan menurunkan tingkat pendapatan mereka. Hal lain yang dapat dilihat sebagai dampak dari pendirian pabrik tersebut adalah bila wilayah yang tadinya digarap sebagai lahan pertanian beralih menjadi tempat yang akan dijadikan untuk memproduksi semen, maka akan ada banyak orang yang akan kehilangan pekerjaan mereka. Pihak perusahaan memang menjanjikan bahwa akan terbuka kesempatan kerja baru bagi masyarakat di Pati Selatan. Namun janji tersebut harus dicermati sekali lagi, karena kerugian yang akan dihasilkan saat pabrik tersebut beroperasi, akan jauh lebih besar.

Argumen tentang terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal ketika pabrik semen berdiri adalah omong kososng alias bohong. Keberadaan pabrik semen di Kabupaten Pati justru akan menambah pengangguran. PT. Semen Gresik; pabrik semen yang akan membangun pabrik di Kabupaten Pati mengaku hanya membutuhkan 500 orang tenaga kerja untuk produksi. Itu pun tidak sembarang orang. Mereka yang akan diterima menjadi karyawan harus memiliki keahlian khusus dan memiliki ijazah minimal tingkat SMA. Sedangkan lahan pertanian dan perkebunan yang akan dialihfungsikan sebagai lokasi penambangan, jalan, infrastruktur dan pabrik selama ini dikelola oleh lebih dari 2500 keluarga petani. Jika dalam masing-masing keluarga petani terdapat 4 jiwa, maka ada sekitar 10.000 orang yang akan terancam kehidupannya karena sumber pendapatan keluarga dirampas oleh pabrik semen. (http://www.desantara.org/01-2009/149/aksi-massa-tolak-pabrik-semen-di-pati-terus-berlanjut)

            Gerakan penolakan tersebut memakan waktu yang sangat lama dan proses yang sangat panjang. Teror dan intimidasi adalah sebagian resiko yang harus dihadapi. Hingga pada tahap selanjutnya, gerakan penolakan tersebut masuk dalam agenda pembicaraan di Komisi VII DPR. Wakil Ketua Komisi VII DPR, Sonny Keraf mengadakan dialog dengan Komunitas Samin dan perwakilan dari tujuh desa (Desa Kedumulyo, Gadudero, Sukolilo, Baturejo, Sumbersoko, dan Tompe Gunung). Pertemuan tersebut menghasilkan rekomendasi yang ditujukan pada Menteri ESDM serta Menteri Negara Lingkungan Hidup, agar keduanya dapat menurunkan tim ke wilayah calon tempatan. Setelah semua proses perjuangan yang panjang, pada tanggal 26 Juli 2009, Bibit Waluyo yang menduduki jabatan selaku Gubernur Jawa Tengah, memutuskan membatalkan rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik di Sukolilo, Pati. Sebuah contoh keberhasilan dari gerakan perlawan yang dilakukan oleh masyarakat, untuk melawan kepentingan korporasi dan pemerintah.

            Akan tetapi keberhasilan itu harus mendapatkan ujian lagi, karena pada awal tahun 2012 ini, warga Pati harus berhadapan kembali dengan pihak korporasi yang mengincar potensi wilayah mereka. PT Sahabat Mulia Sakti (SMS)  merupakan anak perusahaan PT Indocement Tunggal Perkasa (ITP), perusahaan ini berencana mendirikan pabriknya  di Kecamatan Tambakromo dan Kayen. Pihak perusahaan tersebut sedang dalam proses menunggu hasil Amdal, dan sedanag melakukan langkah-langkah pendekatan pada pihak-pihak yang kontra terhadap pendirian pabriknya. Namun sebagian masyarakat masih memiliki sikap yang sama, yaitu menolak dan melawan.

            Gerakan penolakan pendirian pabrik semen tersebut memang tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Samin semata, akan tetapi juga oleh masyarakat non Samin, LSM dan berbagai pihak yang memiliki visi yang sama. Namun keberadaan masyarakat Samin dengan nilai-nilai yang diperjuangkannyalah yang mendorong perlawan itu dilakukan.  Gerakan ini memang tidak banyak diketahui oleh publik, selayaknya sebuah gerakan yang melawan praktek kerja-kerja globalisasi. Misalnya saja gerakan di Battle for Seattle di Amerika Serikat. Semangat “sakdumuk bathuk saknyari bumi” yang berarti “membela negeri sampai titik darah penghabisan”, merupakan gambaran semangat masyarakat Samin untuk melawan kepentingan-kepentingan yang dibawa oleh korporasi dan (juga) pemerintah, baik pusat maupun daerah.


sumber referensi:

http://www.desantara.org/01-2009/149/aksi-massa-tolak-pabrik-semen-di-pati-terus-berlanjut/

http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin#Sikap_Orang_Samin

http://politik.kompasiana.com/2012/01/31/antara-keuntungan-dan-kutukan-%E2%80%9Cpabrik-semen%E2%80%9D-di-pati

http://saminist.wordpress.com

http://www.semengresik.com/ina/ProductPemasaran.aspx

http://triligayanti.blogspot.com/2010/11/kearifan-lokal-suku-samin-di-kabupaten.html


 

Semua tentang Vini Biroe Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting