Sakit gigi. Sakit ini sudah aku rasakan
beberapa hari ini. Berawal dari keasyikan saya makan lanting: makanan asli
banyumas, yang terbuat dari singkong, berbentuk seperti cincin atau mungkin
anting dan berstruktur keras. Mungkin karena bentuknya yang seperti anting,
maka makanan ini dinamai lanting. Ya, berawal dari keasyikan makan lanting,
yang sadar atau tidak sadar, pada saat proses pengunyahannya, menyenggol salah
satu gigi yang berlubang lumayan dalam, maka berakhirlah dengan sakit gigi. Eh
entah ini di sebut berakhir, atau malah berawalnya sakit gigi. Ah terserah dari
sudut pandang mana kita ingin melihat ujung dan pangkalnya. Intinya adalah pada
saat ini saya sakit gigi. Titik.
Ya, sakit gigi yang tadinya hanya nyeri karena
tersenggol makanan super keras (untuk pernyataan ini, saya akui bahwa saya
lebay), menjalar menjadi sakit gigi yang lumayan serius. Tidak hanya terasa
nyeri kecil, akan tetapi sakit yang lumayan menyiksa. Mungkin proses yang
dijalani oleh sakit ini memakan waktu hingga 3 hari. Rasa nyeri kecil itu tidak
terlalu saya hiraukan, karena saya sedang disibukkan oleh banyak hal. misalnya
saja, saya sedang sangat sibuk membaca buku untuk penulisan tesis saya. Ya
walau lebih sering kegiatan membaca itu saya interupsi, dengan dengkuran hebat
di atas kasur. Atau kesibukan lain saya, yang ada hubungannya dengan kegiatan
membaca tadi, yaitu mengetik tesis. Yang sama-sama sering diinterupsi oleh hal
yang sama dengan yang saya lakukan pada saat saya membaca, yaitu tidur. Atau
kesibukan saya untuk melakukan kerja-kerja domestik, seperti mencuci pakaian,
mencuci piring, menyapu, melipati pakaian, menyirami dua tanaman anggrek saya
yang hampir layu, dan sedikit memasak mie instan (gas di dapur sudah habis, dan
saya belum membelinya hingga saat ini. Itulah mengapa saya cuma bisa masak mie instan di rice
cooker. Semoga alasan ini terdengar logis).
Selain itu, sesungguhnya saya masih
punya banyak daftar pekerjaan, yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu,
misalnya mandi, sikat gigi, menyisir rambut dll. Eh, saya juga memiliki
kesibukan lainnya, yang lumayan sangat penting. Yaitu memikirkan jenis makanan
apa yang hendak saya beli. Hey! Itu pekerjaan yang berat. Bayangkan saja, di
saat perut melilit karena lapar, pikiran saya masih saja sibuk dengan segala
macam pertimbangan. Misalnya saja, di satu waktu saya bisa saja memiliki
keinginan untuk memakan banyak ragam makanan sekaligus, akan tetapi
pertimbangan ekonomi tidak mengijinkannya. Atau ada kalanya saya sangat ingin
makan makanan sehat, namun apa daya, di warung tidak ada makanan yang sehat,
semua memakai penyedap rasa, dan diolah melalui proses penggorengan. Dan di
kali yang lain, saya sama sekali tidak ingin makan apapun, tapi perut sudah
perih minta diisi, maka saya pun sibuk membujuk pikiran untuk mau makan, serta
merayu kaki agar mau untuk cepat-cepat keluar kost, dan membeli makan, hanya
agar saya tidak jatuh pingsan karena kelaparan.
Nah kembali pada pembahasan mengenai sakit gigi.
Sakit ini ada kaitannya dengan pembahasan terakhir. Pembahasan mengenai
makanan. Setelah saya abaikan, nyeri kecil di awal tadi, ternyata semakin hari
semakin menjadi. Si nyeri protes karena tidak diperhatikan! Ia berubah menjadi
monster besar yang menyakitkan. Terlebih lagi, saat nyeri melanda, saya masih
memaksa gigi itu untuk mengunyahkan tiap makanan yang masuk ke dalam mulut
saya. Mungkin si gigi berkata “kurang ajar! Udah lah gue gak diperhatiin, eh
malah masih dipaksa kerja keras! Dah gitu, ngunyah makanannya pake lama pulak.
Ini orang kayanya mesti dikasih pelajaran. Biar kapok dan gak semena-mena sama
gue!” dan alhasil, setelah proses pengabaian dan pemaksaan…eng ing eng! Saya
resmi sakit gigi. Duh rasa sakitnya bombastis sekali. Seperti ada yang mengambil
ketenangan dan kenyamanan hidup saya, dengan ganasnya. Namun pengambil
ketenangan dan kenyamanan itu tidak bisa saya serang balik. Huh! Rasanya gemas-gemas
gimana gitu. Bila dikehidupan nyata, ada subyek yang menyakiti saya, mungkin
bisa saya kasih bogem mentah. Ya, untuk sekedar melegakan perasaan, walau tidak
mengurangi rasa sakit yang saya alami. Tapi lihatlah kenyataan ini! Subyek itu
berada pada diri saya sendiri. Masa saya bogem tuh gigi? Lha yang modar kan
saya sendiri.
Ya pada akhirnya, yang saya lakukan hanya mencari obat pereda
rasa sakit. Saat obat itu tidak jua dapat menolong saya, akhirnya mekanisme
terakhir adalah pasrah. Saya berusaha menikmati rasa nyut-nyutan yang berasal
dari gigi geraham sebelah kanan, yang urutannya berada di bagian kedua dari
belakang. Rasa nyut-nyutan, yang merampas saya dari segala kesibukan saya. Rasa
nyut-nyutan yang mulai menjalar ke kepala dan organ tubuh lainnya. Dan juga rasa
nyut-nyutan yang saat ini jauh lebih berkuasa dari apapun juga, bahkan mungkin
lebih berkuasa dari presiden kita, Joko Widodo. Halaaaaah. Wassalam.
Kamis, 18 Juni 2015
Sakitnya Tuh di GIGI...
Kamis, 11 Juni 2015
Museum, Aku Cinta Padamu
sumber photo: www.yogyakarta.panduanwisata.id |
Museum. Apa yang pertama kali terlintas di
dalam kepala kita saat kata itu disebutkan? Gedung yang memamerkan
benda-benda yang umurnya jauh lebih tua dari usia kita? Atau bangunan yang
mempertontonkan hal-hal yang begitu-begitu saja? Kesan itu umum diungkapkan
oleh banyak orang, yang mungkin pernah sekali atau dua kali dalam hidupnya
bersentuhan dengan museum. Kesan kuno, monoton, membosankan, suram atau bahkan
mungkin juga seram, menempel dengan lekat dalam ingatan mereka. Lantas siapa yang mendatangi museum-museum
itu? Kebanyakan adalah murid-murid sekolah yang mendapat tugas untuk membuat
laporan kunjungan, saat mereka ikut kegiatan wisata belajar. Jadwal kunjungan
museum pun, terkadang hanya sebagai jadwal wajib. Agar kesan belajar saat
melancong itu pun tetap dianggap sah secara intelektual. Alih-alih mempelajari
secara serius apa yang ada di museum, para murid jauh lebih menantikan untuk bertandang
ke objek wisata alam, atau malah ke objek wisata belanja, yang dirasa lebih
menyenangkan.
Memang menyedihkan mengetahui hal tersebut. Serasa
ada tamparan keras di muka kita. Akan tetapi, itulah kenyataannya. Kita tidak
bisa menutup mata, bahwa ketertarikan para murid atau masyarakat umum, belum
begitu tinggi pada museum. Titik ini semestinya menjadi titik evaluasi untuk memeriksa,
apa penyebab dari kondisi tersebut. Menurut Statuta International Council of
Museums, museum adalah sebuah lembaga nirlaba, yang bersifat tetap untuk
melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, agar dapat
memperoleh, merawat, meneliti, mengkomunikasikan serta memamerkan aset-aset berharga
yang merupakan warisan bagi kemanusiaan dan lingkungan, untuk tujuan
pendidikan, pembelajaran dan rekreasi (kesenangan). Melalui definisi tersebut,
kita telah mendapat gambaran lengkap mengenai posisi museum sebagai medan
vital bagi kemanusiaan.
Harus diakui bila fungsi pendidikan dan
pembelajaran sudah dapat dicapai oleh museum. Museum jelas berada di garda
depan, selayaknya institusi pendidikan. Namun, apakah fungsi rekreasi atau
kesenangan sudah dapat dicapai? Saya kira belum. Itulah alasan mengapa jumlah
pengunjung museum tidak jua meningkat secara signifikan di setiap tahunnya. Ya,
walau sebenarnya kuantitas pengunjung, tidak dapat menjamin kualitas dari
pembelajaran yang didapatkannya. Akan tetapi dengan menjaring lebih banyak
pengunjung, maka kesempatan museum dalam memfungsikan dirinya sebagai bagian
dari pendidikan akan terbuka lebih luas.
Ada banyak kerja penataan yang mesti dilakukan
oleh pengelola museum, misalnya saja di bidang penyajian, display ruang pamer yang artistik dan ditunjang
media informasi berteknologi canggih, diharapkan dapat membuat pengunjung lebih
asyik mempelajari berbagal hal yang berkaitan dengan benda pamer. Atau dengan
setting benda pamer yang menarik, dengan tata cahaya yang tidak biasa, akan
mampu memanjakan pengunjung secara visual. Pengelola tidak perlu mengubah
museum selayaknya taman bermain, untuk menarik minat banyak orang. Namun akan lebih baik bila fasilitas museum dibuat jauh lebih nyaman lagi, dan dengan
tetap mempertahankan karakter khas dari museum itu sendiri.
Selanjutnya di bidang pelayanan, terutama pada akses
informasi. Tidak dipungkiri, melalui pelayanan informasilah kita dapat
mengetahui sejarah dan seluk beluk lainnya mengenai benda pamer. Informasi lapis pertama adalah informasi yang
dipublikasikan melalui laman yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas,
misalnya saja website dan media sosial (twitter, facebook, dan youtube). Sedangkan
informasi lapis kedua adalah informasi yang diberikan langsung di dalam ruang
pameran, baik oleh pemandu, atau oleh media informasi yang telah disediakan. Harapannya adalah agar mekanisme pewarisan sejarah pengetahuan dapat dicapai secara optimal.
Yang terakhir di bidang jaringan, sangat perlu kiranya
memelihara jaringan lokal, nasional dan internasional untuk pengembangan
standar museum, sehingga sumbangsih museum pada masyarakat dapat diberikan
secara maksimal. Ada forum komunikasi yang terpelihara secara berkelanjutan dan
baik antar museum, institusi dan komunitas pencinta museum. Pentingnya menggandeng
komunitas pencinta museum adalah karena minat mereka lah, nadi museum dapat
didenyutkan kembali dengan lebih cepat. Melalui perpanjangan tangan mereka, jumlah
peminat museum dapat terus ditingkatkan. Mereka semacam agen yang dapat
menyebarkan virus cinta museum pada banyak orang. Mungkin salah satunya adalah
saya. Ya, saya mengakui bahwa saya memiliki kecintaan yang tinggi pada museum. Selalu
ada hal baru yang mengejutkan sekaligus menyenangkan saat berkunjung ke museum.
Selayaknya pasar yang ekletik, saya seperti sedang berbelanja hal-hal yang tak
terduga. Di sana saya mengkonsumsi sesuatu, yaitu pengetahuan. Itulah alasan mengapa saya mencintai museum. Ya…Museum,
aku cinta padamu.
Kamis, 11 September 2014
Buruh di Cina, Apa Kabarmu?
Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya (tulisan yang dibuat sekitar 2 tahun yang lalu), yang
menghadirkan Cina sebagai fokus utama. Pada tulisan sebelumnya, ada banyak
pertanyaan mengenai keadaan buruh di Cina, terutama pertanyaan mengenai adanya
kemungkinan terjadinya eksploitasi yang jauh lebih tinggi, yang dialami oleh
buruh di Cina, di bandingkan negara-negera berkembang lainnya. Mempertanyakan
hal tersebut rasanya sangat wajar, apalagi setelah melihat Cina sebagai salah
satu negara berkembang, telah mampu membuktikan pada dunia (dan bahkan Bank
Dunia), bahwa perekonomian di negaranya mampu bangkit dan maju. Bahkan lebih
maju dari negara berkembang lainnya. Namun apakah memang kemajuan Cina di ranah
pertumbuhan ekonomi, berbanding lurus dengan kondisi yang dialami oleh
buruh-buruhnya?
Kerja lembur berlebihan tanpa hari libur dalam seminggu,
tinggal berjejal dalam asrama yang penuh sesak, serta berdiri terlalu lama
sehingga kaki bengkak dan nyaris tidak bisa berjalan setelah kerja shift selama 24 jam. Itulah kehidupan
sejumlah buruh yang mengaku bahwa mereka berkerja di pusat-pusat pabrik Apple
di China. http://internasional.kompas.com/read/2012/01/27/14135424/Derita.Buruh.China.yang.Memproduksi.iPad
Pada medio Januari 2012, berita mengenai keadaan buruh di
perusahaan-perusahaan pemasok Apple di Cina menjadi topik hangat di beberapa
media massa dan media elektronik nasional maupun internasional (seperti yang
dikutip dari pemberitaan Kompas di atas). Siapakah yang tidak mengenal Apple?
Sebuah merk gadget terkenal di dunia yang hadir tidak hanya dengan kecanggihan
proram yang menjadi andalannya, akan tetapi juga dengan prestise yang
mengiringinya. Banyak pihak yang tercengang dengan pemberitaan yang muncul
seputaran kondisi para buruh yang diperkerjakan oleh perusahaan-perusahaan
pemasok merk terkenal tersebut. Keadan buruh yang begitu direndahkan dan
berdaya tawar lemah, seakan tidak lagi memiliki pilihan atas keadaannya. Bila
melihat kondisi tersebut, akan muncul pertanyaan, bila benar selama ini Cina
menganut ideologi komunisme, yang menjunjung tinggi suara buruh, sebagai elemen
utama dalam gerakan politiknya, tapi mengapa negara tersebut malah mengabaikan
kondisi buruh, yang semestinya menjadi prioritas utamanya?
Kondisi buruh sebelum Cina membuka diri pada kehadiran
sistem ekonomi pasar sangatlah berbeda dengan gambaran yang sempat dibahas di
atas. Hapir 30 tahun lamanya Cina hidup
dengan sistem komunis, yang menaruh buruh pada posisi penting dalam gerakan
politik dan ekonominya. Para buruh hidup
‘aman’ di dalam iklim negara yang sangat berorientasi pada kesejahteraan buruh.
Buruh adalah kekuatan terbesar yang menjadi penopang ideologi yang dianut
negara tersebut. ‘sistem mangkuk besi’ adalah penggambaran yang paling tepat
untuk melihat sistem penyediaan kenyamanan sosial bagi kehidupan buruh Cina
pada kala itu. sistem kenyamanan itu berupa jaminan sosial untuk segala kebutuhan
hidup buruh, jaminan A sampai Z, semua disediakan dan diberikan oleh negara
kepada buruh. Perusahaan-perusahan negara adalah pemegang produksi terbesar,
dan juga termasuk penyerap tenaga kerja terbesar di masa tersebut.
Namun keadaan itu kemudian menjadi berbanding terbalik,
di kala masa pemerintahan Den Xiaoping (1904-1997), yang terkenal dengan
kebijakan ‘reformasi dan membuka diri’. Keterpurukan Cina di masa sebelum
Xiaoping, terutama keterpurukan ekonomi dan budaya, mengantarkan negara
tersebut pada kondisi yang memaksanya untuk membuka diri pada dunia luar.
Termasuk juga pada sistem ekonomi yang berlaku secara global. Kebangkrutan
perusahaan-perusahaan negara, menuntut adanya reformasi di bidang tersebut.
Termasuk langkah-langkah seperti pemutusan hubungan kerja dengan buruh secara besar-besaran mulai
melanda di hampir seluruh wilayah Cina. Langkah lainnya untuk mengatasi keadaan
itu adalah dengan melakukan privatisasi perusahaan-perusahaan
negara, yang dengan jelas mengalihkan kepemilikan perusahaan ke tangan swasta.
Keterkejutan dan kekhawatiran muncul secara masif,
mendorong banyak buruh melakukan protes terhadap kebijakan semacam itu. Namun
buruh sudah mulai terpinggirkan posisinya. Kemiskinan dan kebutuhan untuk menyetabilkan
kondisi perekonomia, telah memaksa Cina untuk tidak lagi menempatkan buruh
secara istimewa. Nasib buruh tidak lagi dimanjakan oleh negara, akan tetapi
diserahkan kepada tangan-tangan para pemilik perusahaan (swasta), yang memiliki
kecenderungan terus meningkatkan keuntungan perusahaan, dan meminimalisir
pengeluaran beserta kelonggaran-kelonggarannya, terutama yang berhubungan
dengan jaminan kesejahteraan buruhnya (baik waktu kerja ataupun jaminan
lainnya).
Nasib buruh semakin tidak pasti. Serikat buruh yang
semula berada di bawah Partai Komunis Cina, beralih ke tangan para manager atau
pengelola perusahaan. Sangat jelas bahwa kepentingan buruh tidak lagi dapat
dibela oleh kekuatan yang dapat menjaga mereka. Kekuatan yang melindungi dari
potensi eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh para pemilik atau pengelola
perusahaan swasta. Keyakinan para buruh digoyahkan dengan hegemoni yang semakin
menyudutkan posisi mereka selaku orang yang dipekerjakan, dan berada pada
posisi di bawah para pengelola dan para pemilik perusahaan swasta.
Hegemoni pasar benar-benar telah merasuki baik buruh yang
masih bekerja maupun mereka yang menjadi calon buruh. Buruh dan buruh bersaing
satu sama lain untuk memperebutkan kesempatan kerja. Kalau toh mereka mengalami
hal-hal yang tidak mengenakkan, mereka cenderung untuk menyalahkan diri
sendiri, bukan perusahaan, bukan pula negara. Dengan demikian, buruh di Cina
saat ini tidak memperlihatkan semangat solidaritas kelas yang tinggi untuk
mengubah struktur hubungan kerja yang tidak adil. (Wibowo, 2004: 201-202)
Mencermati kondisi buruh tersebut, muncul pertanyaan, lantas
kemana semangat komunis dari negara Cina? Mengapa dalam sebuah negara yang
menjadikan komunisme sebagai pegangannya, malah menghadirkan kapitalisme
sebagai paham yang diterapkan dalam sistem ekonominya? Untuk siapa Cina
membangun orientasi ekonominya? Untuk kestabilan ekonomi? Untuk upaya
pembuktian pada institusi-intitusi global? Atau untuk rakyatnya yang sebagian
besar adalah buruh, yang mulai terabaikan kesejahteraannya? Sungguhpun
kesuksesan Cina dalam penguasaan produknya di pasar global, tidak benar-benar
dapat diimbangi dengan upaya yang sama, untuk memberikan kesejahteraan para
kaum buruhnya. Kontradiksi tersebut hadir sebagai suatu bentuk keterpaksaan dalam
menghadapi globalisasi.
Minggu, 30 Desember 2012
Samin Melawan (Pabrik) Semen
“Tetap menolak terus. Kami pun berharap, mulai dari
pemerintah dan pihak yang berkepentingan terhadap pabrik semen, harus lebih
tahu bahwa di sini penolakan mulai meluas
dan mulai serius."
Petikan komentar yang tertulis di
atas merupakan pernyataan dari Gunretno, salah seorang tokoh masyarakat adat Samin di Pati, Jawa Tengah. Pernyataan tersebut dikeluarkan,
berkaitan dengan sikap penolakan masyarakat Samin terhadap rencana proyek pembangunan pabrik semen di kawasan Pegunungan
Kendeng, pada medio tahun 2008.
Masyarakat Samin, atau yang sering
juga disebut sebagai Sedulur Sikep,
merupakan kelompok masyarakat yang menganut ajaran Saminisme, ajaran yang
muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap praktek kolonialisasi yang diterapkan
Belanda. Ajaran samin pertama kali
diperkenalkan oleh Raden Surowijoyo yang lahir di Ploso Kediren, pada tahun
1859. Ajaran Samin tersebar di beberapa daerah, antara lain di Tapelan di
wilayah Bojonegoro, Nginggil dan Klopoduwur di wilayah Blora, Kutuk di wilayah Kudus, Gunung Segara di wilayah
Brebes, Kandangan di wilayah Pati, dan Tlaga Anyar di wilayah Lamongan.
Apabila di India kita mengenal Mahatma Gandhi
yang terkenal dengan ajaran Satyagrahanya, ajaran yang menginisiasi gerakan untuk
melawan praktek penjajahan Inggris, dengan cara melawan monopoli garam oleh
rakyat sipil. Maka di Indonesia, kita mengenal gerakan masyarakat Samin. Ajaran ini pada mulanya merupakan sebuah
reaksi keras terhadap keadaan yang menghimpit rakyat pada masa penjajahan
Belanda. Pemerintahan kolonial pada masa itu mewajibkan seluruh rakyat untuk
membayar pajak dan melakukan kerja paksa. Apabila menolak, mereka akan
ditangkap dan disiksa. Tanah pertanian rakyat pribumi juga dirampas dan ditanami
pohon jati, demi kepentingan pemerintah kolonial.
Gerakan melakukan perlawanannya dengan
jalan nirkekerasan, namun mampu memberikan efek yang mengejutkan, sekaligus
menggelisahkan bagi pemerintahan kolonial Belanda di waktu itu. Kata Samin
sendiri diambil dari filosofi kalimat “sami-sami amin” yang artinya rakyat
sama-sama setuju, terutama ketika raden Surowijoyo melakukan langkah yang
berani untuk membantu masyarakat miskin dengan caranya sendiri. Raden
Surowijoyo, atau yang kerap dipanggil sebagai Ki Samin Soerosentiko mengajak
para pengikutnya untuk menolak membayar pajak dan menolak untuk mengerjakan
segala perintah dari para penjajah (heeren-diensten). Bentuk perlawanan lain yang dilakukan oleh Ki
Samin dan para pengikutnya adalah dengan menebangi pohon jati (yang ditanam
dalam program tanam paksa Belanda), tanpa ijin dan mengambil untuk keperluan
mereka sendiri. Sehingga keberadaan masyarakat Samin sangat jelas dianggap
berbahaya oleh pemerintahan kolonial Belanda.
Keberadaan masyarakat Samin pada
masa kini, memang tidak sejaya dahulu, baik dari kategori jumlah maupun
kekentalan ajarannya. Kemerosotan jumlah pengikut ajaran Saminisme ini terjadi
seiring dengan semakin terbukanya masyarakat tersebut terhadap nilai-nilai
modern, yang merangsek masuk dan melunturkan sendi-sendi nilai yang dianut
sebelumnya. Akan tetapi di tengah gempuran modernitas yang masuk, masih ada
beberapa komunitas masyarakat Samin yang tetap memelihara kepercayaan mereka,
walau dengan sikap yang kompromis terhadap modernitas, sebagai bentuk jawaban
atas tantangan jaman yang terus berkembang.
Mereka masih menjunjung tinggi
nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, serta penghargaan terhadap manusia dan
alam. Berdasarkan nilai-nilai tersebutlah, masyarakat Samin menentukan sikap
penolakannya terhadap pendirian pabrik semen di wilayahnya. PT Semen Gresik,
yang sahamnya sekitar 40% dikuasai oleh pihak asing, pada sekitar pertengahan 2008 berencana untuk
menanamkan modalnya melalui pendirian pabrik di Pati Jawa Tengah, tepatnya di
wilayah pegunungan Kendeng. Wilayah Kendeng yang merupakan wilayah
pegunungan karst, merupakan sumber
potensial bagi pabrik semen. Rencana ekspansi ini didorong oleh pemenuhan
kebutuhan semen di pasar nasional maupun internasional. Semen Gresik merupakan
salah satu pemain penting dalam industri semen di wilayah Asia, Australia,
Eropa, Afrika dan Eropa. Rencana pendirian tersebut sudah mendapatkan lampu
hijau dari pemerintah setempat, karena bagaimanapun juga, pabrik tersebut akan
memberikan peluang bagi peningkatan PAD (Pendapat Asli Daerah).
Namun belajar dari beberapa
pengalaman, di beberapa wilayah, dampak yang menjurus pada kerusakan ekologis,
telah mematikan banyak sumber kehidupan dan penghidupan manusia serta mahluk
hidup lainnya yang berada di wilayah pegunungan karst tersebut, seperti kerusakan fungsi hidrologi (penyedia sumber
air) dan penurunan tingkat kesuburan tanah. Selain itu, mata pencaharian sebagian besar masyarakat di wilayah tersebut
ada di sektor pertanian. Apabila tingkat kesuburan tanah menurun, maka akan
mengakibatkan menurunkan tingkat pendapatan mereka. Hal lain yang dapat dilihat
sebagai dampak dari pendirian pabrik tersebut adalah bila wilayah yang tadinya digarap
sebagai lahan pertanian beralih menjadi tempat yang akan dijadikan untuk
memproduksi semen, maka akan ada banyak orang yang akan kehilangan pekerjaan
mereka. Pihak perusahaan memang menjanjikan bahwa akan terbuka kesempatan kerja
baru bagi masyarakat di Pati Selatan. Namun janji tersebut harus dicermati
sekali lagi, karena kerugian yang akan dihasilkan saat pabrik tersebut
beroperasi, akan jauh lebih besar.
Argumen tentang terbukanya lapangan pekerjaan bagi
masyarakat lokal ketika pabrik semen berdiri adalah omong kososng alias bohong.
Keberadaan pabrik semen di Kabupaten Pati justru akan menambah pengangguran.
PT. Semen Gresik; pabrik semen yang akan membangun pabrik di Kabupaten Pati
mengaku hanya membutuhkan 500 orang tenaga kerja untuk produksi. Itu pun tidak
sembarang orang. Mereka yang akan diterima menjadi karyawan harus memiliki
keahlian khusus dan memiliki ijazah minimal tingkat SMA. Sedangkan lahan
pertanian dan perkebunan yang akan dialihfungsikan sebagai lokasi penambangan,
jalan, infrastruktur dan pabrik selama ini dikelola oleh lebih dari 2500
keluarga petani. Jika dalam masing-masing keluarga petani terdapat 4 jiwa, maka
ada sekitar 10.000 orang yang akan terancam kehidupannya karena sumber
pendapatan keluarga dirampas oleh pabrik semen.
(http://www.desantara.org/01-2009/149/aksi-massa-tolak-pabrik-semen-di-pati-terus-berlanjut)
Gerakan penolakan tersebut memakan
waktu yang sangat lama dan proses yang sangat panjang. Teror dan intimidasi
adalah sebagian resiko yang harus dihadapi. Hingga pada tahap selanjutnya,
gerakan penolakan tersebut masuk dalam agenda pembicaraan di Komisi VII DPR. Wakil
Ketua Komisi VII DPR, Sonny Keraf mengadakan dialog dengan Komunitas Samin dan
perwakilan dari tujuh desa (Desa Kedumulyo, Gadudero, Sukolilo, Baturejo,
Sumbersoko, dan Tompe Gunung). Pertemuan tersebut menghasilkan rekomendasi yang
ditujukan pada Menteri ESDM serta Menteri Negara Lingkungan Hidup, agar
keduanya dapat menurunkan tim ke wilayah calon tempatan. Setelah semua proses
perjuangan yang panjang, pada tanggal 26 Juli 2009, Bibit Waluyo yang menduduki
jabatan selaku Gubernur Jawa Tengah, memutuskan membatalkan rencana pembangunan
pabrik semen oleh PT Semen Gresik di Sukolilo, Pati. Sebuah contoh keberhasilan
dari gerakan perlawan yang dilakukan oleh masyarakat, untuk melawan kepentingan
korporasi dan pemerintah.
Akan tetapi keberhasilan itu harus
mendapatkan ujian lagi, karena pada awal tahun 2012 ini, warga Pati harus
berhadapan kembali dengan pihak korporasi yang mengincar potensi wilayah
mereka. PT Sahabat Mulia Sakti (SMS) merupakan anak perusahaan PT Indocement Tunggal
Perkasa (ITP), perusahaan ini berencana mendirikan pabriknya di Kecamatan Tambakromo dan Kayen. Pihak
perusahaan tersebut sedang dalam proses menunggu hasil Amdal, dan sedanag melakukan
langkah-langkah pendekatan pada pihak-pihak yang kontra terhadap pendirian
pabriknya. Namun sebagian masyarakat masih memiliki sikap yang sama, yaitu
menolak dan melawan.
Gerakan penolakan pendirian pabrik
semen tersebut memang tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Samin semata, akan
tetapi juga oleh masyarakat non Samin, LSM dan berbagai pihak yang memiliki
visi yang sama. Namun keberadaan masyarakat Samin dengan nilai-nilai yang
diperjuangkannyalah yang mendorong perlawan itu dilakukan. Gerakan ini memang tidak banyak diketahui oleh
publik, selayaknya sebuah gerakan yang melawan praktek kerja-kerja globalisasi.
Misalnya saja gerakan di Battle for Seattle
di Amerika Serikat. Semangat “sakdumuk bathuk saknyari bumi” yang berarti “membela
negeri sampai titik darah penghabisan”, merupakan gambaran semangat masyarakat
Samin untuk melawan kepentingan-kepentingan yang dibawa oleh korporasi dan
(juga) pemerintah, baik pusat maupun daerah.
sumber referensi:
http://www.desantara.org/01-2009/149/aksi-massa-tolak-pabrik-semen-di-pati-terus-berlanjut/
http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin#Sikap_Orang_Samin
http://politik.kompasiana.com/2012/01/31/antara-keuntungan-dan-kutukan-%E2%80%9Cpabrik-semen%E2%80%9D-di-pati
http://saminist.wordpress.com
http://www.semengresik.com/ina/ProductPemasaran.aspx
http://triligayanti.blogspot.com/2010/11/kearifan-lokal-suku-samin-di-kabupaten.html
Langganan:
Postingan (Atom)