Rabu, 02 November 2011

Membaca (awal) Imagined Communities- Benedict Anderson



Benedict Anderson pada buku yang berjudul “Imagined Communities”, terutama pada awal-awal penulisan buku tersebut, banyak membahas sekaligus melakukan kritik praktek nasoinalisme yang umumnya tumbuh pasca perang dunia II. Nasionalisme dilihat sebagai kegagalan ataupun anomali dari Marxisme. Nasionalisme cenderung dianggap sebagai nilai paling absah secara universal dalam kehidupan politik jaman ini. Namun, Anderson memiliki pendapat yang berbeda mengenai hal tersebut.
Saya akan mencoba mengemukakan argumen bahwa penciptaan artefak-artefak ini pada akhir abad ke-delapan belas merupakan penyulingan spontan atas ‘persilangan’ berbagai kekuatan historis; namun, sekali tercipta, artefak-artefak itu menjadi ‘modular’, dapat ditanamkan, dengan berbagai derajat kesadaran-diri, ke berbagai bentangan sosial yang luas, untuk melebur dan dileburkan dengan serangkaian tata politis dan ideologis yang luas pula. (Anderson, 2002:6).
Pada tulisan diatas, Anderson mengumpamakan nasionalisme sebagai artefak-artefak budaya jenis khusus. Hal tersebut mungkin bertentangan dengan keadaan yang sekarang terjadi. Bagaimana mungkin mengkategorikan nasionalisme sebagai sebuah barang kuno yang tidak sesuai dengan konteks kekinian, padahal nasionalisme adalah hal yang masih saja hidup hingga dan dihidupkan oleh masyaakat di seluruh bangsa hingga saat ini.
Akan tetapi sepertinya kita harus melihat argumen yang mengantarkan Anderson pada pernyataannya tersebut. Ia berangkat dari pemahaman bahwa bangsa atau nation adalah komunitas politis yang dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Menurutnya lagi,  para anggota nation tersebut sebenarnya tidak saling mengenal satu dengan lainnya, bahkan tidak semua dari mereka pernah bertatap muka. Namun sebagai anggota sebuah bangsa, mereka hidup dalam sebuah kebersamaan yang terbayang.
Argumen Anderson mengenai hal tersebut dimulai dari fokus historis mengenai munculnya nasionalisme. Nasionalisme yang tumbuh dari komunitas religius tidaklah selalu berbasis kewilayahan, namun yang pasti berasal dari kepercayaan yang sama antar pemeluknya. Bahasa-bahasa keagaamaan yang sakral adalah kunci pemersatu keterbayangan atas kebersamaan mereka. Sebagai contohnya saja, ideogram Latin atau Arab dianggap sebagai pancaran realitas. Bahasa Latin yang digunakan pada misa Katolik, ataupun bahasa Arab yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah bahasa-bahasa agama yang kebenarannya di yakini betul oleh umatnya. Sehingga bahasa sakral in pulalh yang dapat menyatukan umat suatu agama, walaupun bahasa ibu mereke berbeda, namun mereka memiliki kebersamaan yang terbayang antara satu dengan lainnya sebagai satu kesatuan.
Selain itu, nasionalisme juga tumbuh melalui alasan di ranah dinastik. Pada sistem kekuasaan, bentuk ini didapatkan secara gaib, bukan dari rakyat. Pada sistem inilah diwariskan garis kebersamaan melalui persatuan populasi-populasi yang berbeda dalam perkawinan-perkawinan dinastik. Pernyatuan bangsa berdasar perkawinan para penguasa.
Pengejawantahan simbol-simbol kebersamaan di masa lalu ke dalam bentul visualisasi yang aural masa kini, adalah juga salah satu bentuk upaya penyatuan kebersamaan yang melintas batas waktu. Sehingga konsepsi-konsepsi mengenai asal muasal dunia dan keberadaan manusia akan adalah hal yang identik.
Dari semua alur historis yang ditarik oleh Anderson, nasionalisme tetaplah dibagun kebersamaannya yang imajiner melalui bahasa. Mekanisme bahasa inilah yang kemudian dapat mengintrepretasi setiap maksud individu mengenai kebersamaan kedalam pemahaman komunal.
Pemahaman komunal yang beranjak menjadi kesadaran nasional adalah juga karena efek kunci dari perkembangan percetakan. Percetakan mampu mengakomodir perluasan gagasan-gagasan mengenai kesadaran tersebut.kesadaran tersebut mengantarkan pada kemungkinan lahirnya komunitas terbayang yang baru. Tidak lagi hanya terbatas pada ranah lama, seperti yang dituliskan di atas, namun sudah dapat membentuk komunitas yang memilki semangat mengenai satu kesatuan yang lebih berani mengesampingkan sisi melankolinya. Memang pada ranah ini, akan terasa keterbatasan ‘kebersamaan’, namun konteks nasionalisme yang dibangun jauh lebih ‘nyata’ dan terasa kebenarannya karena dipergunakannya bahasa ibu dari bangsa-bangsa tersebut.
Anderson memang mencoba untuk sedikit mengkritisi bentuk komunitas terbayang yang menggunakan semangat nasionalisme. Ia tidak secara langsung menyebutkan bahwa nasionalisme sebagai bentuk ‘kekacauan’ dan berpemahaman kebangsaan, namun mencoba mengkritisi gerakan masal ini sebagai gerakan yang kadang hanya mencomot ideologi-ideologi yang berserak, dijadikan satu atau dikompilasi, namun tidak berkecenderungan secara jelas arahnya. Tapi yang pasti, nasionalisme yang bergaung di hampir seluruh pelosok dunia, menuntut penjelasan lebih lanjut. Karena nasionalime yang dibangun tersebut sering diyakini sebagai sebuah semangat mendasar sebuah bangsa , namun tidak dipahami secara sadar, belum menyeluruh dan terbayang.

 

Semua tentang Vini Biroe Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting