International Monetary Fund, atau yang
kerap kita sebut sebagai IMF lahir sebagai tanggapan atas kondisi ekonomi pasca
perang dunia kedua. IMF tidak lahir sendirian, akan tetapi juga hadir bersama
‘saudara-saudaranya’, yaitu International
Bank forReconstruction and Development (yang kita kenal sebagai World Bank), serta International Trade Organization atau World Trade Organization. Tujuan
pendirian IMF berupa upaya mendorong kerjasama moneter internasional, membantu
tercapainya perluasan dan keseimbangan pertumbuhan perdagangan internasional,
mendorong stabilitas nilai tukar, menghapus hambatan transaksi antarnegara,
memberikan bantuan keuangan secara temporer dan juga mengurangi permasalahan dalam
ketidakseimbangan neraca pembayaran negara anggota.
Mencermati
tujuan pendiriannya, dapat dibayangkan bahwa IMF sangatlah penting keberadaan
dan fungsinya, terutama bagi negara-negara anggotanya. Keberadaan dan fungsi
yang dialamatkan sebagai upaya mencapai kemaslahatan bersama, pada prakteknya
(berdasarkan pengalaman dari negara-negara anggota) tidak berlaku demikian. IMF
lebih mengesankan membawa ‘misi tertentu’, terutama misi yang dibawa oleh kelompok
yang tergabung dalamG-3 (Amerika, Uni Eropa dan Jepang). Negara-negara dalam kelompok G-3 merupakan
nasabah terbesar bagi IMF. Secara logis,
nasabah terbesar adalah nasabah yang memiliki pengaruh dan kuasa yang
cukup besar, sehingga slogan: One Dollar,
One Vote! berlaku di sana. Dominasi G-3 sangat dirasakan, terutama pada wilayah
kebijakan-kebijakan di dalam tubuh IMF. Kebijakan-kebijakan yang cenderung merugikan
negara-negara berkembang.
Melihat keadaan
semacam itu, maka timbul pertanyaan: lantas mengapa negara-negara berkembang (yang
merasa dirugikan) tidak menyatukan suara, untuk melakukan tindakan terhadap
ketimpangan tersebut? bukankah bila diprosentasekan, jumlah negara-negara
berkembang yang menjadi anggota IMF jauh lebih banyak dari pada negara-negara
yang tergabung dalam G-3? Salah satu jawaban atas pertanyaan tersebut adalah
karena adanya permasalahan geopolitik dari negara-negara tersebut. Hal itu
menyebabkan terpecahnya suara dan semangat untuk mengatasi kondisi yang
merugikan mereka.
Keadaan semacam
ini tidak bisa dihindari oleh negara-negara yang mengalami kerugian yang
diakibatkan dari kebijakan-kebijakan IMF. Keberadaan IMF akan selalu dibutuhkan
dalam upaya-upaya stabilitas suatu negara. Negara yang berorientasi untuk
menyeimbangkan neracanya (apabila defisit), selalu dihadapkan pada kondisi
dimana negara itu membutuhkan pertolongan dari pihak lain. Pihak lain yang
dimaksud adalah negara atau lembaga yang dapat membantu menyeimbangkan
neracanya. Bantuan tersebut dapat diartikan sebagai hutang. Hutang yang
didapatkan sebuah negara menyaratkan adanya penjamin, sehingga negara atau
lembaga pemberi hutang akan dapat melepaskan dananya dengan tenang. Ketenangan tersebut dihadirkan melalui
keberadaan IMF. IMF akan berlaku sebagai gatekeepers
bagi negara-negara donor dan lembaga keuangan internasional lainnya. IMF dan WB
hanya berlaku sebagai lembaga alternatif peminjaman dana (misalnya saja
peminjaman dalam konteks G to G).
Namun, negara donor yang meminjamkan dananya pada negara lain seringkali memiliki
kekhawatiran, apabila negara peminjam tidak dapat mengembalikan dana tersebut.
Sehingga negara donor (peminjam) akan membutuhkan IMF dan WB sebagai penjamin
mereka.