Selasa, 11 September 2012

NGO: Antara Keberpihakan dan Kepentingan


Washington Consensus pada awal kemunculannya, mengantarkan rakyat atau masyarakat sebuah negara pada kondisi yang cukup membingungkan. Kebingungan itu berkaitan dengan mundurnya peran negara dalam penyelenggaraan kerja-kerja di bidang layanan kesehatan, pendidikan, modal, jaring pengaman sosial, serta pengembangan komunitas. Pertanyaan yang muncul pada kondisi terrsebut adalah: siapa yang akan menangani semua hal tadi, apalagi bila rakyat belum siap dan belum dapat sepenuhnya mengakses bidang-bidang tersebut?


Pada titik itulah, NGO ( Non-Governmental Organization) hadir dan mencoba menjawab pertanyaan di atas. NGO mulai mengambil alih tanggungjawab negara di bidang-bidang sosial kemasyarakatan, sebagai bentuk inisiasi dari gerakan masyarakat sipil. Kehadiran NGO yang semula terkesan “membantu” (atau juga mendukung) negara dalam upaya-upaya pemenuhan kesejahteraan rakyat, para proses selanjutnya mulai tergelitik dengan bentuk-bentuk pengabaian dan ketakberpihakan negara terhadap rakyatnya. Sikap negara yang kerapkali tidak dapat melindungi rakyat dari efek buruk kegiatan para pelaku pasar ekonomi (nasional maupun global), mulai dikritik oleh masyarakat sipil, yang diwakili keberadaannya oleh NGO.


NGO menjadi The thrid sector setelah keberadaan negara dan para pelaku pasar ekonomi. Sektor ketiga ini mulai melancarkan kritik-kritiknya terhadap negara yang memproduksi kebijakan-kebijakan, yang cenderung menguntungkan para pelaku pasar ekonomi.  Semangat untuk menentang dominasi dari negara dan para pelaku pasar ekonomi, membawa NGO pada ranah gerakan yang kompleks. NGO hadir sebagai institusi alternatif dan otonom, yang mencoba membendung, mengimbangi dan bahkan membatasi gerakan kedua sektor sebelumnya. Fokus atau agenda politik yang diusung oleh NGO berkisar di permasalahan-permasalahan hak asasi manusia, lingkungan, pembangunan, pengutukan terhadap eksploitasi sumber daya alam (tambang) dll.  Adanya otoritas dan legitimasi moral yang diemban oleh NGO, membawa institusi ini berada dan berbicara untuk pihak-pihak yang dirugikan dan diperlakukan tidak adil oleh negara dan para pelaku pasar ekonomi.


Namun bila kita telisik lebih lanjut, keberadaan NGO yang menyuarakan ketidakadilan dan kerugian yang dirasakan oleh rakyat, harus dipertanyakan lagi. Apakah memang NGO hadir sebagai jawaban atau kondisi timpang yang diciptakan oleh dua sektor sebelumnya? Dan apakah NGO benar-benar mewakili suara dari pihak-pihak yang (diklaim) diwakilinya? Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut tidaklah mudah, karena keberadaan NGO memang tidak bisa dilihat melalui kacamata hitam dan putih. NGO sendiri hadir dengan kompleksitasnya. NGO tidak bisa dengan gegabah langsung diletakkan sebagai oposisi dari negara dan para pelaku pasar ekonomi. Hal tersebut dikarenakan adanya keterjalinan yang rumit antara NGO dengan kedua sektor tadi. sebuah keterjalinan yang tidak dapat  dielakan.


Gerakan apapun secara nyata akan membutuhkan dana untuk membiayai prosesnya, begitu pula NGO. Pembiayaan gerakan NGO, selain melibatkan lembaga donor yang memang berorientasi pada perjuangan tertentu, juga seringkali melibatkan keberadaan sektor swasta atau perusahaan. Perusahaan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) masuk pada aliran-aliran gerakan yang dilakukan NGO di tingkat akar rumput. Perjuangan itu tidak lagi dapat dilihat sebagai gerakan murni untuk memperjuangankan suara rakyat. Kecurigaan tersebut  lahir karena NGO cenderung merepresentasikan diri sebagai “agen” atau perpanjangan tangan dari kepentingan perusahaan. 

Terlepas dari muatan sosial yang dibawa oleh program CSR yang diterapkan oleh NGO  pada masyarakat, kecenderungan yang lebih kuat yang  terjadi di lapangan malah sebaliknya. Kecenderungan tersebut didapatkan dari upaya-upaya perusahaan untuk ikut membentuk citra baik dirinya, atau bahkan fatalnya adalah untuk membungkam NGO, dan juga masyarakat, agar tidak lagi berada pada posisi menentang pihak perusahaan.  Keuntungan yang dimunculkan oleh program CSR suatu perusahaan, sesungguhnya tidak berbanding lurus dengan efek buruk yang diciptakannya di ranah pasar ekonomi, terutama pasar ekonomi global.


Kondisi di atas, sebenarnya akan kita dapati juga pada NGO yang lahir melalui inisiasi serta campur tangan negara atau pemerintah. NGO semacam ini seringkali mendapatkan label ‘NGO plat merah”. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah, bagaimana mungkin sebuah NGO yang secara jelas menasbihkan dirinya sebagai organisasi non pemerintah, namun gerakan yang dilakukannya diinisiasi oleh pemerintah? Kontradiksi semacam ini jelas terjadi dan menimbulkan polemik tersendiri. Muncul kecurigaan-kecurigaan terhadap NGO semacam ini. Kecurigaan ini cukup beralasan, karena mekanisme semacam itu mengindikasikan terjadinya praktek depolitisasi gerakan NGO. Gerakan NGO yang semula berada pada posisi yang berlawanan secara politik, kemudian  dilumpuhkan dan ditempatkan pada lini yang sama dengan negara atau pemerintah. Logika “ sesama kawan tidak akan melawan” mulai diterapkan pada konteks ini.


Mencermati kembali keterjalinan NGO dengan dua sektor sebelumnya, akan selalu menggiring kita pada kesimpulan mengenai adanya bias dalam perjuangan mereka. Posisi dari NGO yang disebutkan di atas, akan selalu dipertanyakan keberadaan dan misinya. Apakah mereka membawa misi keberpihakan pada suara rakyat, atau malah membawa kepentingan-kepentingan tertentu dari negara ataupun para pelaku pasar ekonomi (yang diwakili oleh perusahaan)? Pertanyaan yang  selalu membuka ruang perdebatan yang tak berkesudahan.
 

 

Semua tentang Vini Biroe Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting