Membicarakan kebijakan politik di sebuah negara, maka tidak akan meninggalkan
pokok bahasan mengenai agenda ekonomi yang menyertainya. Ada skema besar yang selalu melibat kedua hal
tersebut. termasuk juga skema besar
globalisasi. Keterhubungan antar negara tersebut, yang pada awalnya lebih pada
mekanisme penghapusan batas-batas wilayah, khususnya di bidang ekonomi, yang
didalamnya mencakup perdagangan, investasi dan industri, membawa
kepentingan-kepentingan serta imbas yang tak dapat dihindari. Seperti pembahasan-pembahasan
sebelumnya, keberadaan globalisasi tidak akan dapat dinafikan oleh
negara-negara yang menjalaninya.
Namun menghadirkan pembicaraan mengenai gambaran sosok jahat globalisasi, sepertinya sudah
terlalu sering dan sangat membosankan. Memang ada banyak pihak yang selalu
hadir dengan kecurigaan atau kewaspadaan yang luar biasa, terhadap dampak buruk
yang dihadirkan oleh globalisasi. Namun kecurigaan atau kewaspadaan itu tidak diiringi dengan
upaya-upaya yang nyata untuk keberadaan globalisasi. Maka dari itu, ada baiknya
kita juga dapat melihat sisi lain dari globalisasi, yang selama ini sering
menjadi momok yang ditakuti.
Selama ini globalisasi, terutama yang ditempeli
kepentingan dari negara-negara maju, selalu dipersalahkan sebagai agen yang
berperan penting dalam proses ekskalasi ‘pemiskinan’ negara-negara dunia ketiga. Namun sesungguhnya,
negara berkembang tidak selalu harus diposisikan sebagai korban yang tak
berdaya, terhadap intrik ekonomi dan politik kepentingan dari negara maju. Kondisi
tersebut secara nyata dapat dibuktikan oleh kemajuan yang diperlihatkan oleh
negara Cina dalam tiga dekade belakangan ini. Pertumbuhan ekonomi Cina yang
mencapai 7-8% setiap tahunnya, mengesankan adanya upaya penghapusan sebutan negara
miskin yang dulu cukup lama di sandangnya.
Cina pada masa Den Xiaoping (1904-1997) mengaami kemajuan
yang sangat signifikan dalam bidang ekonomi. Den Xiaoping yang merupakan generasi kedua setelah Mao
Zedong dalam memimpin Partai Komunis di
Cina, ia mengusung semangat dan kebijakan ‘reformasi dan membuka diri’. Semangat dan
kebijakan tersebut merupakan ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan
sikap Cina pada terhadap gerakan globalisasi. Semenjak itu Cina mulai memasuki
ranah baru yang membuka kesempatan untuk masuknya berbagai bentuk investasi
dari perusahaan asing. Strategi Cina
dalam mengelola keberadaan globalisasi sesungguhnya cukup cerdik. Cina
mengajukan tawaran yang cukup menggiurkan terhadap para investor asing. Tawaran
itu berupa kebijakan mengenai kemudahan
dalam proses investasi, keberadaan sasaran pasar (jumlah konsumen) yang cukup
besar, dan ketersediaannya buruh dengan bayaran yang cukup murah. Cina bahkan
memiliki jumlah buruh yang cukup tinggi, yang diakibatkan adanya gerakan
migrasi tenaga kerja dari desa-desa ke kota-kota industri di Cina.
Selain tawaran-tawaran yang mengiurkan di atas,
sesungguhnya Cina telah siap dengan strategi lain, yaitu persayaratan yang
diajukan pada para investor asing. Para
investor tesebut diperbolehkan untuk berinvestasi di Cina, asalkan mereka mau
melakukan alih teknologinya di Cina. Mekanisme alih teknologi ini pernah
dilakukan oleh General Motor. Dimana keahlian-keahlian teknologi yang
dimiliki oleh General Motor, harus
ditrasfer atau ditularkan dengan sengaja kepada tenaga-tenaga kerja asli Cina.
Keahlian semacam inilah yang kemudian dapat mengantarkan Cina pada
keberhasilannya membuat produk yang hampir sama (tiruan) dengan produk yang
dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan asing yang ada (atau yang pernah ada) di
Cina. Cina berhasil menembus pasar dunia dengan produk-produk berharga murah.
Jauh lebih murah daripada produk yang ditirunya. Sering muncul pertanyaan
mengenai ‘kualitas dari proses pembuatan produk Cina’, namun pertanyaan itu
akan terjawab dengan pertanyaan lain, bukankah tenaga kerja Cina pulalah yang
membuat berbagai produk dengan label yang asli? Sehingga dengan kemampuan
tenaga kerja yang samalah produk itu dihasilkan. Mungkin pertanyaan yang lebih
tepat yang seharusnya diajukan adalah mengenai: seberapa baikkah kualitas bahan
mentah yang dijadikan material dasar sebuah produk yang di hasilkan di Cina?
Mencermati hal tersebut, Cina dapat berbangga hati,
karena di tengah terjangan arus globalisasi yang mengantarkan banyak negara
berkembang lainnya ke pinggir jurang kemiskinan, Cina malah mampu bertahan,
bergerak maju dan terus berkembang.
Bahkan Bank Dunia pada laporannya atas Cina di tahun 1997, telah
memasukan negara tersebut pada posisi negara penerima utama pinjaman dari
institusi tersebut (Improved Creditworthiness). Akan tetapi, memang ada hal
lain yang harus diwaspadai oleh Cina, sebagai sebuah negara yang menyambut
dengan gegap gempita kedatangan gerakan globalisasi. Kewaspadaan itu berupa
adanya kemungkinan terjadinya persaingan di pasar tenaga kerja dalam negerinya.
Persaingan antara tenaga kerja lokal dan tenaga kerja asing, menghadapkan Cina
pada upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja lokalnya, agar penyerapan
tenaga kerja dapat maksimal dan tidak menimbulkan pengangguran masif di masa
depan. Masih mengenai tenaga kerja, tekanan untuk menghasilkan produk yang
berkualitas dan berkuantitas tinggi, berarti terbuka pula peluang terjadinya
tekanan yang berat bagi para pekerja yang terlibat di dalamnya. Selain itu,
iming-iming tenaga kerja berupah rendah harus dipertanyakan kelanjutannya,
apakah Cina akan selalu memberikan kesempatan para investor asing untuk
memanfaat kan tenaga kerja lokal dengan nilai kemanfaatan yang tinggi namun
memberikan reward yang begitu rendah
pada tenaga kerja lokal Cina? Lantas bagaimana kondisi keberadaan tenaga kerja
di Cina secara keseluruhan? Melihat kondisi yang dihadapi oleh Cina, kita tidak selalu menghadirkan dualisme. Begitupun
seperti yang terjadi di Cina, yang secara jelas mampu menggunakan globalisasi
untuk mengangkat negaranya pada tingkatan yang hampir menyamai laju
perekonomian negara-negara maju, tetapi juga mengantarkan Cina pada kondisi
yang buruk pada tenaga kerja lokal mereka.