Kamis, 11 September 2014

Buruh di Cina, Apa Kabarmu?




Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya (tulisan yang dibuat sekitar 2 tahun yang lalu), yang menghadirkan Cina sebagai fokus utama. Pada tulisan sebelumnya, ada banyak pertanyaan mengenai keadaan buruh di Cina, terutama pertanyaan mengenai adanya kemungkinan terjadinya eksploitasi yang jauh lebih tinggi, yang dialami oleh buruh di Cina, di bandingkan negara-negera berkembang lainnya. Mempertanyakan hal tersebut rasanya sangat wajar, apalagi setelah melihat Cina sebagai salah satu negara berkembang, telah mampu membuktikan pada dunia (dan bahkan Bank Dunia), bahwa perekonomian di negaranya mampu bangkit dan maju. Bahkan lebih maju dari negara berkembang lainnya. Namun apakah memang kemajuan Cina di ranah pertumbuhan ekonomi, berbanding lurus dengan kondisi yang dialami oleh buruh-buruhnya?
Kerja lembur berlebihan tanpa hari libur dalam seminggu, tinggal berjejal dalam asrama yang penuh sesak, serta berdiri terlalu lama sehingga kaki bengkak dan nyaris tidak bisa berjalan setelah kerja shift selama 24 jam. Itulah kehidupan sejumlah buruh yang mengaku bahwa mereka berkerja di pusat-pusat pabrik Apple di China. http://internasional.kompas.com/read/2012/01/27/14135424/Derita.Buruh.China.yang.Memproduksi.iPad
Pada medio Januari 2012, berita mengenai keadaan buruh di perusahaan-perusahaan pemasok Apple di Cina menjadi topik hangat di beberapa media massa dan media elektronik nasional maupun internasional (seperti yang dikutip dari pemberitaan Kompas di atas). Siapakah yang tidak mengenal Apple? Sebuah merk gadget terkenal di dunia yang hadir tidak hanya dengan kecanggihan proram yang menjadi andalannya, akan tetapi juga dengan prestise yang mengiringinya. Banyak pihak yang tercengang dengan pemberitaan yang muncul seputaran kondisi para buruh yang diperkerjakan oleh perusahaan-perusahaan pemasok merk terkenal tersebut. Keadan buruh yang begitu direndahkan dan berdaya tawar lemah, seakan tidak lagi memiliki pilihan atas keadaannya. Bila melihat kondisi tersebut, akan muncul pertanyaan, bila benar selama ini Cina menganut ideologi komunisme, yang menjunjung tinggi suara buruh, sebagai elemen utama dalam gerakan politiknya, tapi mengapa negara tersebut malah mengabaikan kondisi buruh, yang semestinya menjadi prioritas utamanya?
Kondisi buruh sebelum Cina membuka diri pada kehadiran sistem ekonomi pasar sangatlah berbeda dengan gambaran yang sempat dibahas di atas.  Hapir 30 tahun lamanya Cina hidup dengan sistem komunis, yang menaruh buruh pada posisi penting dalam gerakan politik dan ekonominya.  Para buruh hidup ‘aman’ di dalam iklim negara yang sangat berorientasi pada kesejahteraan buruh. Buruh adalah kekuatan terbesar yang menjadi penopang ideologi yang dianut negara tersebut. ‘sistem mangkuk besi’ adalah penggambaran yang paling tepat untuk melihat sistem penyediaan kenyamanan sosial bagi kehidupan buruh Cina pada kala itu. sistem kenyamanan itu berupa jaminan sosial untuk segala kebutuhan hidup buruh, jaminan A sampai Z, semua disediakan dan diberikan oleh negara kepada buruh. Perusahaan-perusahan negara adalah pemegang produksi terbesar, dan juga termasuk penyerap tenaga kerja terbesar di masa tersebut.
Namun keadaan itu kemudian menjadi berbanding terbalik, di kala masa pemerintahan Den Xiaoping (1904-1997), yang terkenal dengan kebijakan ‘reformasi dan membuka diri’. Keterpurukan Cina di masa sebelum Xiaoping, terutama keterpurukan ekonomi dan budaya, mengantarkan negara tersebut pada kondisi yang memaksanya untuk membuka diri pada dunia luar. Termasuk juga pada sistem ekonomi yang berlaku secara global. Kebangkrutan perusahaan-perusahaan negara, menuntut adanya reformasi di bidang tersebut. Termasuk langkah-langkah seperti pemutusan hubungan  kerja dengan buruh secara besar-besaran mulai melanda di hampir seluruh wilayah Cina. Langkah lainnya untuk mengatasi keadaan itu adalah dengan melakukan privatisasi  perusahaan-perusahaan negara, yang dengan jelas mengalihkan kepemilikan perusahaan ke tangan swasta.
Keterkejutan dan kekhawatiran muncul secara masif, mendorong banyak buruh melakukan protes terhadap kebijakan semacam itu. Namun buruh sudah mulai terpinggirkan posisinya. Kemiskinan dan kebutuhan untuk menyetabilkan kondisi perekonomia, telah memaksa Cina untuk tidak lagi menempatkan buruh secara istimewa. Nasib buruh tidak lagi dimanjakan oleh negara, akan tetapi diserahkan kepada tangan-tangan para pemilik perusahaan (swasta), yang memiliki kecenderungan terus meningkatkan keuntungan perusahaan, dan meminimalisir pengeluaran beserta kelonggaran-kelonggarannya, terutama yang berhubungan dengan jaminan kesejahteraan buruhnya (baik waktu kerja ataupun jaminan lainnya).
Nasib buruh semakin tidak pasti. Serikat buruh yang semula berada di bawah Partai Komunis Cina, beralih ke tangan para manager atau pengelola perusahaan. Sangat jelas bahwa kepentingan buruh tidak lagi dapat dibela oleh kekuatan yang dapat menjaga mereka. Kekuatan yang melindungi dari potensi eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh para pemilik atau pengelola perusahaan swasta. Keyakinan para buruh digoyahkan dengan hegemoni yang semakin menyudutkan posisi mereka selaku orang yang dipekerjakan, dan berada pada posisi di bawah para pengelola dan para pemilik perusahaan swasta.
Hegemoni pasar benar-benar telah merasuki baik buruh yang masih bekerja maupun mereka yang menjadi calon buruh. Buruh dan buruh bersaing satu sama lain untuk memperebutkan kesempatan kerja. Kalau toh mereka mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan, mereka cenderung untuk menyalahkan diri sendiri, bukan perusahaan, bukan pula negara. Dengan demikian, buruh di Cina saat ini tidak memperlihatkan semangat solidaritas kelas yang tinggi untuk mengubah struktur hubungan kerja yang tidak adil. (Wibowo, 2004: 201-202)
Mencermati kondisi buruh tersebut, muncul pertanyaan, lantas kemana semangat komunis dari negara Cina? Mengapa dalam sebuah negara yang menjadikan komunisme sebagai pegangannya, malah menghadirkan kapitalisme sebagai paham yang diterapkan dalam sistem ekonominya? Untuk siapa Cina membangun orientasi ekonominya? Untuk kestabilan ekonomi? Untuk upaya pembuktian pada institusi-intitusi global? Atau untuk rakyatnya yang sebagian besar adalah buruh, yang mulai terabaikan kesejahteraannya? Sungguhpun kesuksesan Cina dalam penguasaan produknya di pasar global, tidak benar-benar dapat diimbangi dengan upaya yang sama, untuk memberikan kesejahteraan para kaum buruhnya. Kontradiksi tersebut hadir sebagai suatu bentuk keterpaksaan dalam menghadapi globalisasi.
 

Semua tentang Vini Biroe Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting