Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya (tulisan yang dibuat sekitar 2 tahun yang lalu), yang
menghadirkan Cina sebagai fokus utama. Pada tulisan sebelumnya, ada banyak
pertanyaan mengenai keadaan buruh di Cina, terutama pertanyaan mengenai adanya
kemungkinan terjadinya eksploitasi yang jauh lebih tinggi, yang dialami oleh
buruh di Cina, di bandingkan negara-negera berkembang lainnya. Mempertanyakan
hal tersebut rasanya sangat wajar, apalagi setelah melihat Cina sebagai salah
satu negara berkembang, telah mampu membuktikan pada dunia (dan bahkan Bank
Dunia), bahwa perekonomian di negaranya mampu bangkit dan maju. Bahkan lebih
maju dari negara berkembang lainnya. Namun apakah memang kemajuan Cina di ranah
pertumbuhan ekonomi, berbanding lurus dengan kondisi yang dialami oleh
buruh-buruhnya?
Kerja lembur berlebihan tanpa hari libur dalam seminggu,
tinggal berjejal dalam asrama yang penuh sesak, serta berdiri terlalu lama
sehingga kaki bengkak dan nyaris tidak bisa berjalan setelah kerja shift selama 24 jam. Itulah kehidupan
sejumlah buruh yang mengaku bahwa mereka berkerja di pusat-pusat pabrik Apple
di China. http://internasional.kompas.com/read/2012/01/27/14135424/Derita.Buruh.China.yang.Memproduksi.iPad
Pada medio Januari 2012, berita mengenai keadaan buruh di
perusahaan-perusahaan pemasok Apple di Cina menjadi topik hangat di beberapa
media massa dan media elektronik nasional maupun internasional (seperti yang
dikutip dari pemberitaan Kompas di atas). Siapakah yang tidak mengenal Apple?
Sebuah merk gadget terkenal di dunia yang hadir tidak hanya dengan kecanggihan
proram yang menjadi andalannya, akan tetapi juga dengan prestise yang
mengiringinya. Banyak pihak yang tercengang dengan pemberitaan yang muncul
seputaran kondisi para buruh yang diperkerjakan oleh perusahaan-perusahaan
pemasok merk terkenal tersebut. Keadan buruh yang begitu direndahkan dan
berdaya tawar lemah, seakan tidak lagi memiliki pilihan atas keadaannya. Bila
melihat kondisi tersebut, akan muncul pertanyaan, bila benar selama ini Cina
menganut ideologi komunisme, yang menjunjung tinggi suara buruh, sebagai elemen
utama dalam gerakan politiknya, tapi mengapa negara tersebut malah mengabaikan
kondisi buruh, yang semestinya menjadi prioritas utamanya?
Kondisi buruh sebelum Cina membuka diri pada kehadiran
sistem ekonomi pasar sangatlah berbeda dengan gambaran yang sempat dibahas di
atas. Hapir 30 tahun lamanya Cina hidup
dengan sistem komunis, yang menaruh buruh pada posisi penting dalam gerakan
politik dan ekonominya. Para buruh hidup
‘aman’ di dalam iklim negara yang sangat berorientasi pada kesejahteraan buruh.
Buruh adalah kekuatan terbesar yang menjadi penopang ideologi yang dianut
negara tersebut. ‘sistem mangkuk besi’ adalah penggambaran yang paling tepat
untuk melihat sistem penyediaan kenyamanan sosial bagi kehidupan buruh Cina
pada kala itu. sistem kenyamanan itu berupa jaminan sosial untuk segala kebutuhan
hidup buruh, jaminan A sampai Z, semua disediakan dan diberikan oleh negara
kepada buruh. Perusahaan-perusahan negara adalah pemegang produksi terbesar,
dan juga termasuk penyerap tenaga kerja terbesar di masa tersebut.
Namun keadaan itu kemudian menjadi berbanding terbalik,
di kala masa pemerintahan Den Xiaoping (1904-1997), yang terkenal dengan
kebijakan ‘reformasi dan membuka diri’. Keterpurukan Cina di masa sebelum
Xiaoping, terutama keterpurukan ekonomi dan budaya, mengantarkan negara
tersebut pada kondisi yang memaksanya untuk membuka diri pada dunia luar.
Termasuk juga pada sistem ekonomi yang berlaku secara global. Kebangkrutan
perusahaan-perusahaan negara, menuntut adanya reformasi di bidang tersebut.
Termasuk langkah-langkah seperti pemutusan hubungan kerja dengan buruh secara besar-besaran mulai
melanda di hampir seluruh wilayah Cina. Langkah lainnya untuk mengatasi keadaan
itu adalah dengan melakukan privatisasi perusahaan-perusahaan
negara, yang dengan jelas mengalihkan kepemilikan perusahaan ke tangan swasta.
Keterkejutan dan kekhawatiran muncul secara masif,
mendorong banyak buruh melakukan protes terhadap kebijakan semacam itu. Namun
buruh sudah mulai terpinggirkan posisinya. Kemiskinan dan kebutuhan untuk menyetabilkan
kondisi perekonomia, telah memaksa Cina untuk tidak lagi menempatkan buruh
secara istimewa. Nasib buruh tidak lagi dimanjakan oleh negara, akan tetapi
diserahkan kepada tangan-tangan para pemilik perusahaan (swasta), yang memiliki
kecenderungan terus meningkatkan keuntungan perusahaan, dan meminimalisir
pengeluaran beserta kelonggaran-kelonggarannya, terutama yang berhubungan
dengan jaminan kesejahteraan buruhnya (baik waktu kerja ataupun jaminan
lainnya).
Nasib buruh semakin tidak pasti. Serikat buruh yang
semula berada di bawah Partai Komunis Cina, beralih ke tangan para manager atau
pengelola perusahaan. Sangat jelas bahwa kepentingan buruh tidak lagi dapat
dibela oleh kekuatan yang dapat menjaga mereka. Kekuatan yang melindungi dari
potensi eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh para pemilik atau pengelola
perusahaan swasta. Keyakinan para buruh digoyahkan dengan hegemoni yang semakin
menyudutkan posisi mereka selaku orang yang dipekerjakan, dan berada pada
posisi di bawah para pengelola dan para pemilik perusahaan swasta.
Hegemoni pasar benar-benar telah merasuki baik buruh yang
masih bekerja maupun mereka yang menjadi calon buruh. Buruh dan buruh bersaing
satu sama lain untuk memperebutkan kesempatan kerja. Kalau toh mereka mengalami
hal-hal yang tidak mengenakkan, mereka cenderung untuk menyalahkan diri
sendiri, bukan perusahaan, bukan pula negara. Dengan demikian, buruh di Cina
saat ini tidak memperlihatkan semangat solidaritas kelas yang tinggi untuk
mengubah struktur hubungan kerja yang tidak adil. (Wibowo, 2004: 201-202)
Mencermati kondisi buruh tersebut, muncul pertanyaan, lantas
kemana semangat komunis dari negara Cina? Mengapa dalam sebuah negara yang
menjadikan komunisme sebagai pegangannya, malah menghadirkan kapitalisme
sebagai paham yang diterapkan dalam sistem ekonominya? Untuk siapa Cina
membangun orientasi ekonominya? Untuk kestabilan ekonomi? Untuk upaya
pembuktian pada institusi-intitusi global? Atau untuk rakyatnya yang sebagian
besar adalah buruh, yang mulai terabaikan kesejahteraannya? Sungguhpun
kesuksesan Cina dalam penguasaan produknya di pasar global, tidak benar-benar
dapat diimbangi dengan upaya yang sama, untuk memberikan kesejahteraan para
kaum buruhnya. Kontradiksi tersebut hadir sebagai suatu bentuk keterpaksaan dalam
menghadapi globalisasi.