Kamis, 18 Juni 2015

Sakitnya Tuh di GIGI...



Sakit gigi. Sakit ini sudah aku rasakan beberapa hari ini. Berawal dari keasyikan saya makan lanting: makanan asli banyumas, yang terbuat dari singkong, berbentuk seperti cincin atau mungkin anting dan berstruktur keras. Mungkin karena bentuknya yang seperti anting, maka makanan ini dinamai lanting. Ya, berawal dari keasyikan makan lanting, yang sadar atau tidak sadar, pada saat proses pengunyahannya, menyenggol salah satu gigi yang berlubang lumayan dalam, maka berakhirlah dengan sakit gigi. Eh entah ini di sebut berakhir, atau malah berawalnya sakit gigi. Ah terserah dari sudut pandang mana kita ingin melihat ujung dan pangkalnya. Intinya adalah pada saat ini saya sakit gigi. Titik.
Ya, sakit gigi yang tadinya hanya nyeri karena tersenggol makanan super keras (untuk pernyataan ini, saya akui bahwa saya lebay), menjalar menjadi sakit gigi yang lumayan serius. Tidak hanya terasa nyeri kecil, akan tetapi sakit yang lumayan menyiksa. Mungkin proses yang dijalani oleh sakit ini memakan waktu hingga 3 hari. Rasa nyeri kecil itu tidak terlalu saya hiraukan, karena saya sedang disibukkan oleh banyak hal. misalnya saja, saya sedang sangat sibuk membaca buku untuk penulisan tesis saya. Ya walau lebih sering kegiatan membaca itu saya interupsi, dengan dengkuran hebat di atas kasur. Atau kesibukan lain saya, yang ada hubungannya dengan kegiatan membaca tadi, yaitu mengetik tesis. Yang sama-sama sering diinterupsi oleh hal yang sama dengan yang saya lakukan pada saat saya membaca, yaitu tidur. Atau kesibukan saya untuk melakukan kerja-kerja domestik, seperti mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu, melipati pakaian, menyirami dua tanaman anggrek saya yang hampir layu, dan sedikit memasak mie instan (gas di dapur sudah habis, dan saya belum membelinya hingga saat ini. Itulah mengapa saya cuma bisa masak mie instan di rice cooker. Semoga alasan ini terdengar logis). 
Selain itu, sesungguhnya saya masih punya banyak daftar pekerjaan, yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu, misalnya mandi, sikat gigi, menyisir rambut dll. Eh, saya juga memiliki kesibukan lainnya, yang lumayan sangat penting. Yaitu memikirkan jenis makanan apa yang hendak saya beli. Hey! Itu pekerjaan yang berat. Bayangkan saja, di saat perut melilit karena lapar, pikiran saya masih saja sibuk dengan segala macam pertimbangan. Misalnya saja, di satu waktu saya bisa saja memiliki keinginan untuk memakan banyak ragam makanan sekaligus, akan tetapi pertimbangan ekonomi tidak mengijinkannya. Atau ada kalanya saya sangat ingin makan makanan sehat, namun apa daya, di warung tidak ada makanan yang sehat, semua memakai penyedap rasa, dan diolah melalui proses penggorengan. Dan di kali yang lain, saya sama sekali tidak ingin makan apapun, tapi perut sudah perih minta diisi, maka saya pun sibuk membujuk pikiran untuk mau makan, serta merayu kaki agar mau untuk cepat-cepat keluar kost, dan membeli makan, hanya agar saya tidak jatuh pingsan karena kelaparan.
Nah kembali pada pembahasan mengenai sakit gigi. Sakit ini ada kaitannya dengan pembahasan terakhir. Pembahasan mengenai makanan. Setelah saya abaikan, nyeri kecil di awal tadi, ternyata semakin hari semakin menjadi. Si nyeri protes karena tidak diperhatikan! Ia berubah menjadi monster besar yang menyakitkan. Terlebih lagi, saat nyeri melanda, saya masih memaksa gigi itu untuk mengunyahkan tiap makanan yang masuk ke dalam mulut saya. Mungkin si gigi berkata “kurang ajar! Udah lah gue gak diperhatiin, eh malah masih dipaksa kerja keras! Dah gitu, ngunyah makanannya pake lama pulak. Ini orang kayanya mesti dikasih pelajaran. Biar kapok dan gak semena-mena sama gue!” dan alhasil, setelah proses pengabaian dan pemaksaan…eng ing eng! Saya resmi sakit gigi. Duh rasa sakitnya bombastis sekali. Seperti ada yang mengambil ketenangan dan kenyamanan hidup saya, dengan ganasnya. Namun pengambil ketenangan dan kenyamanan itu tidak bisa saya serang balik. Huh! Rasanya gemas-gemas gimana gitu. Bila dikehidupan nyata, ada subyek yang menyakiti saya, mungkin bisa saya kasih bogem mentah. Ya, untuk sekedar melegakan perasaan, walau tidak mengurangi rasa sakit yang saya alami. Tapi lihatlah kenyataan ini! Subyek itu berada pada diri saya sendiri. Masa saya bogem tuh gigi? Lha yang modar kan saya sendiri. 
Ya pada akhirnya, yang saya lakukan hanya mencari obat pereda rasa sakit. Saat obat itu tidak jua dapat menolong saya, akhirnya mekanisme terakhir adalah pasrah. Saya berusaha menikmati rasa nyut-nyutan yang berasal dari gigi geraham sebelah kanan, yang urutannya berada di bagian kedua dari belakang. Rasa nyut-nyutan, yang merampas saya dari segala kesibukan saya. Rasa nyut-nyutan yang mulai menjalar ke kepala dan organ tubuh lainnya. Dan juga rasa nyut-nyutan yang saat ini jauh lebih berkuasa dari apapun juga, bahkan mungkin lebih berkuasa dari presiden kita, Joko Widodo. Halaaaaah. Wassalam.


Kamis, 11 Juni 2015

Museum, Aku Cinta Padamu



sumber photo: www.yogyakarta.panduanwisata.id

Museum. Apa yang pertama kali terlintas di dalam kepala kita saat kata itu disebutkan? Gedung yang memamerkan benda-benda yang umurnya jauh lebih tua dari usia kita? Atau bangunan yang mempertontonkan hal-hal yang begitu-begitu saja? Kesan itu umum diungkapkan oleh banyak orang, yang mungkin pernah sekali atau dua kali dalam hidupnya bersentuhan dengan museum. Kesan kuno, monoton, membosankan, suram atau bahkan mungkin juga seram, menempel dengan lekat dalam ingatan mereka. Lantas siapa yang mendatangi museum-museum itu? Kebanyakan adalah murid-murid sekolah yang mendapat tugas untuk membuat laporan kunjungan, saat mereka ikut kegiatan wisata belajar. Jadwal kunjungan museum pun, terkadang hanya sebagai jadwal wajib. Agar kesan belajar saat melancong itu pun tetap dianggap sah secara intelektual. Alih-alih mempelajari secara serius apa yang ada di museum, para murid jauh lebih menantikan untuk bertandang ke objek wisata alam, atau malah ke objek wisata belanja, yang dirasa lebih menyenangkan.


Memang menyedihkan mengetahui hal tersebut. Serasa ada tamparan keras di muka kita. Akan tetapi, itulah kenyataannya. Kita tidak bisa menutup mata, bahwa ketertarikan para murid atau masyarakat umum, belum begitu tinggi pada museum. Titik ini semestinya menjadi titik evaluasi untuk memeriksa, apa penyebab dari kondisi tersebut. Menurut Statuta International Council of Museums, museum adalah sebuah lembaga nirlaba, yang bersifat tetap untuk melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, agar dapat memperoleh, merawat, meneliti, mengkomunikasikan serta memamerkan aset-aset berharga yang merupakan warisan bagi kemanusiaan dan lingkungan, untuk tujuan pendidikan, pembelajaran dan rekreasi (kesenangan). Melalui definisi tersebut, kita telah mendapat gambaran lengkap mengenai posisi museum sebagai medan  vital bagi kemanusiaan. 


Harus diakui bila fungsi pendidikan dan pembelajaran sudah dapat dicapai oleh museum. Museum jelas berada di garda depan, selayaknya institusi pendidikan. Namun, apakah fungsi rekreasi atau kesenangan sudah dapat dicapai? Saya kira belum. Itulah alasan mengapa jumlah pengunjung museum tidak jua meningkat secara signifikan di setiap tahunnya. Ya, walau sebenarnya kuantitas pengunjung, tidak dapat menjamin kualitas dari pembelajaran yang didapatkannya. Akan tetapi dengan menjaring lebih banyak pengunjung, maka kesempatan museum dalam memfungsikan dirinya sebagai bagian dari pendidikan akan terbuka lebih luas. 


Ada banyak kerja penataan yang mesti dilakukan oleh pengelola museum, misalnya saja di bidang penyajian,  display ruang pamer yang artistik dan ditunjang media informasi berteknologi canggih, diharapkan dapat membuat pengunjung lebih asyik mempelajari berbagal hal yang berkaitan dengan benda pamer. Atau dengan setting benda pamer yang menarik, dengan tata cahaya yang tidak biasa, akan mampu memanjakan pengunjung secara visual. Pengelola tidak perlu mengubah museum selayaknya taman bermain, untuk menarik minat banyak orang. Namun akan lebih baik bila fasilitas museum dibuat jauh lebih nyaman lagi, dan dengan tetap mempertahankan karakter khas dari museum itu sendiri.


Selanjutnya di bidang pelayanan, terutama pada akses informasi. Tidak dipungkiri, melalui pelayanan informasilah kita dapat mengetahui sejarah dan seluk beluk lainnya mengenai benda pamer.  Informasi lapis pertama adalah informasi yang dipublikasikan melalui laman yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas, misalnya saja website dan media sosial (twitter, facebook, dan youtube). Sedangkan informasi lapis kedua adalah informasi yang diberikan langsung di dalam ruang pameran, baik oleh pemandu, atau oleh media informasi yang telah disediakan. Harapannya adalah agar mekanisme pewarisan sejarah pengetahuan dapat dicapai secara optimal.


Yang terakhir di bidang jaringan, sangat perlu kiranya memelihara jaringan lokal, nasional dan internasional untuk pengembangan standar museum, sehingga sumbangsih museum pada masyarakat dapat diberikan secara maksimal. Ada forum komunikasi yang terpelihara secara berkelanjutan dan baik antar museum, institusi dan komunitas pencinta museum. Pentingnya menggandeng komunitas pencinta museum adalah karena minat mereka lah, nadi museum dapat didenyutkan kembali dengan lebih cepat. Melalui perpanjangan tangan mereka, jumlah peminat museum dapat terus ditingkatkan. Mereka  semacam agen yang dapat menyebarkan virus cinta museum pada banyak orang. Mungkin salah satunya adalah saya. Ya, saya mengakui bahwa saya memiliki kecintaan yang tinggi pada museum. Selalu ada hal baru yang mengejutkan sekaligus menyenangkan saat berkunjung ke museum. Selayaknya pasar yang ekletik, saya seperti sedang berbelanja hal-hal yang tak terduga. Di sana saya mengkonsumsi sesuatu, yaitu pengetahuan.  Itulah alasan mengapa saya mencintai museum. Ya…Museum, aku cinta padamu.

 

Semua tentang Vini Biroe Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting