Benedict Anderson pada buku yang berjudul
“Imagined Communities”, terutama pada awal-awal penulisan buku tersebut, banyak
membahas sekaligus melakukan kritik praktek nasoinalisme yang umumnya tumbuh
pasca perang dunia II. Nasionalisme dilihat sebagai kegagalan ataupun anomali
dari Marxisme. Nasionalisme cenderung dianggap sebagai nilai paling absah
secara universal dalam kehidupan politik jaman ini. Namun, Anderson memiliki
pendapat yang berbeda mengenai hal tersebut.
Saya akan mencoba
mengemukakan argumen bahwa penciptaan artefak-artefak ini pada akhir abad
ke-delapan belas merupakan penyulingan spontan atas ‘persilangan’ berbagai
kekuatan historis; namun, sekali tercipta, artefak-artefak itu menjadi
‘modular’, dapat ditanamkan, dengan berbagai derajat kesadaran-diri, ke
berbagai bentangan sosial yang luas, untuk melebur dan dileburkan dengan
serangkaian tata politis dan ideologis yang luas pula. (Anderson, 2002:6).
Pada tulisan diatas, Anderson mengumpamakan
nasionalisme sebagai artefak-artefak budaya jenis khusus. Hal tersebut mungkin
bertentangan dengan keadaan yang sekarang terjadi. Bagaimana mungkin
mengkategorikan nasionalisme sebagai sebuah barang kuno yang tidak sesuai
dengan konteks kekinian, padahal nasionalisme adalah hal yang masih saja hidup
hingga dan dihidupkan oleh masyaakat di seluruh bangsa hingga saat ini.
Akan tetapi sepertinya kita harus melihat argumen
yang mengantarkan Anderson pada pernyataannya tersebut. Ia berangkat dari
pemahaman bahwa bangsa atau nation adalah komunitas politis yang dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan.
Menurutnya lagi, para anggota nation
tersebut sebenarnya tidak saling mengenal satu dengan lainnya, bahkan tidak
semua dari mereka pernah bertatap muka. Namun sebagai anggota sebuah bangsa,
mereka hidup dalam sebuah kebersamaan yang terbayang.
Argumen Anderson mengenai hal tersebut dimulai
dari fokus historis mengenai munculnya nasionalisme. Nasionalisme yang tumbuh
dari komunitas religius tidaklah selalu berbasis kewilayahan, namun yang pasti
berasal dari kepercayaan yang sama antar pemeluknya. Bahasa-bahasa keagaamaan
yang sakral adalah kunci pemersatu keterbayangan atas kebersamaan mereka.
Sebagai contohnya saja, ideogram Latin atau Arab dianggap sebagai pancaran
realitas. Bahasa Latin yang digunakan pada misa Katolik, ataupun bahasa Arab
yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah bahasa-bahasa agama yang kebenarannya di
yakini betul oleh umatnya. Sehingga bahasa sakral in pulalh yang dapat
menyatukan umat suatu agama, walaupun bahasa ibu mereke berbeda, namun mereka
memiliki kebersamaan yang terbayang antara satu dengan lainnya sebagai satu
kesatuan.
Selain itu, nasionalisme juga tumbuh melalui
alasan di ranah dinastik. Pada sistem kekuasaan, bentuk ini didapatkan secara
gaib, bukan dari rakyat. Pada sistem inilah diwariskan garis kebersamaan
melalui persatuan populasi-populasi yang berbeda dalam perkawinan-perkawinan
dinastik. Pernyatuan bangsa berdasar perkawinan para penguasa.
Pengejawantahan simbol-simbol kebersamaan di masa
lalu ke dalam bentul visualisasi yang aural masa kini, adalah juga salah satu
bentuk upaya penyatuan kebersamaan yang melintas batas waktu. Sehingga konsepsi-konsepsi
mengenai asal muasal dunia dan keberadaan manusia akan adalah hal yang identik.
Dari semua alur historis yang ditarik oleh
Anderson, nasionalisme tetaplah dibagun kebersamaannya yang imajiner melalui
bahasa. Mekanisme bahasa inilah yang kemudian dapat mengintrepretasi setiap
maksud individu mengenai kebersamaan kedalam pemahaman komunal.
Pemahaman komunal yang beranjak menjadi kesadaran
nasional adalah juga karena efek kunci dari perkembangan percetakan. Percetakan
mampu mengakomodir perluasan gagasan-gagasan mengenai kesadaran
tersebut.kesadaran tersebut mengantarkan pada kemungkinan lahirnya komunitas
terbayang yang baru. Tidak lagi hanya terbatas pada ranah lama, seperti yang
dituliskan di atas, namun sudah dapat membentuk komunitas yang memilki semangat
mengenai satu kesatuan yang lebih berani mengesampingkan sisi melankolinya.
Memang pada ranah ini, akan terasa keterbatasan ‘kebersamaan’, namun konteks
nasionalisme yang dibangun jauh lebih ‘nyata’ dan terasa kebenarannya karena
dipergunakannya bahasa ibu dari bangsa-bangsa tersebut.
Anderson memang mencoba untuk sedikit mengkritisi bentuk komunitas
terbayang yang menggunakan semangat nasionalisme. Ia tidak secara langsung
menyebutkan bahwa nasionalisme sebagai bentuk ‘kekacauan’ dan berpemahaman
kebangsaan, namun mencoba mengkritisi gerakan masal ini sebagai gerakan yang
kadang hanya mencomot ideologi-ideologi yang berserak, dijadikan satu atau
dikompilasi, namun tidak berkecenderungan secara jelas arahnya. Tapi yang
pasti, nasionalisme yang bergaung di hampir seluruh pelosok dunia, menuntut penjelasan
lebih lanjut. Karena nasionalime yang dibangun tersebut sering diyakini sebagai
sebuah semangat mendasar sebuah bangsa , namun tidak dipahami secara sadar, belum
menyeluruh dan terbayang.