Bagi para penyuka photo, baik
photo jurnalistik, photo estetik ataupun photo narsistik (ini yang sering
dianut oleh kita-kita), sebuah produk photo akan selalu menghadirkan makna
tersendiri. Baik makna tunggal maupun jamak. Bila sebuah produk photo kemudian
kita tarik ke ranah pembicaraan semiotik, terutama seperti yang diutarakan oleh
Roland Bartes, maka kita harus ‘menelanjanginya’ melalui tahapan denotasi dan
konotasinya. Pada ranah denotasi, photo mentransmisikan sebuah realitas yang terekam. Ada Imaji fotografi atau analogon yang merupakan turunan
atau salinan dari realitas yang terjadi
dari sebuah peristiwa yang tertangkap dari sebuah peristiwa. Analogon inilah yang diterima sebagai
kekuatan photo tersebut. Analogon yang
hadir dari photo, adalah juga bentuk pesan yang disampaikan pada ranah
denotasi. Sedangkan pesan pada ranah konotasi yang diungkapkan oleh photo
tersebut akan didapatkan berdasarkan pada pandangan dan pembacaan dari orang/ masyarakat
yang mencermatinyanya.
Ranah pemaknaan konotasi yang
dihadirkan oleh photo, selalu dilihat dari latarbelakang historis dan kultural.
Sehingga pada taraf pembacaan atas
segala sesuatu yang tampak, baik ekspresi, gestur, efek, sikap, dan hal lainnya
yang ditampakkan dalam photo selalu bersifat relatif. Semua tergantung pada
penilaian, kebiasaan serta pandangan dari masyarakat tertentu.
Photo tidak selalu hadir dengan
nilai dan pemaknaan yang natural seperti halnya yang didapatkan dari pemaknaan
denotatif. Akan tetapi akan selalu
mewakili tanda atau simbol yang mewakili kode-kode tertentu di dalam
alur kesejarahan sebuah masyarakat.
Sehingga upaya dalam pencarian makna tersebut, harus terlebih dahulu
diawali oleh mekanisme pengasingan dari semua makna denotatifnya, yaitu dengan
cara menginventarisasi, dan menata semua elemen sosial budaya dan historis di dalam
photo.
Namun pemaknaan konotatif tidak
hanya berada pada tingkatan pembacaan secara keseluruhan salinan realitas yang
diangkat di dalam photo. Akan tetapi juga dapat dilakukan dalam secara terbatas
pada bagian-bagian tertentu dari analogon
yang ditampilkannya. Hal lain yang mungkin akan dihasilkan
dalam ranah konotasi adalah pertanyaan-pertanyaan yang dilatarbelakangi permasalahan
sosial, budaya dan sejarah si pembaca, atau penafsir.
Nah dari penjelasan di atas, kita dapat menarik sebuah garis demarkasi yang
jelas dalam penafsiran sebuah photo. Bisa saja, photo narsis yang selama ini
kita buat, akan diartikan sebagai sebuah pengabadian kecantikan/ ketampanan bila
ditafsirkan dalam ranah denotatif. Akan tetapi mungkin saja dapat diartikan
sebagai sebuah pelecehan, bila dilihat dari ranah konotatif, terutama bila kita
menggunakan simbol-simbol yang secara historis ataupun kultural, adalah sebuah
simbol yang dianggap melanggar oleh sekelompok masyarakat yang lain. Selalu ada
ranah konotasi yang berbeda, yang ditangkap oleh pandang yang berbeda pula.
Jadi...selamat menafsirkan ...
Sumber referensi :
Barthes, Roland (1977), “Image Music Text”, selected and translated by Stephen Heath, Fontana Press, London.