Sakit gigi. Sakit ini sudah aku rasakan
beberapa hari ini. Berawal dari keasyikan saya makan lanting: makanan asli
banyumas, yang terbuat dari singkong, berbentuk seperti cincin atau mungkin
anting dan berstruktur keras. Mungkin karena bentuknya yang seperti anting,
maka makanan ini dinamai lanting. Ya, berawal dari keasyikan makan lanting,
yang sadar atau tidak sadar, pada saat proses pengunyahannya, menyenggol salah
satu gigi yang berlubang lumayan dalam, maka berakhirlah dengan sakit gigi. Eh
entah ini di sebut berakhir, atau malah berawalnya sakit gigi. Ah terserah dari
sudut pandang mana kita ingin melihat ujung dan pangkalnya. Intinya adalah pada
saat ini saya sakit gigi. Titik.
Ya, sakit gigi yang tadinya hanya nyeri karena
tersenggol makanan super keras (untuk pernyataan ini, saya akui bahwa saya
lebay), menjalar menjadi sakit gigi yang lumayan serius. Tidak hanya terasa
nyeri kecil, akan tetapi sakit yang lumayan menyiksa. Mungkin proses yang
dijalani oleh sakit ini memakan waktu hingga 3 hari. Rasa nyeri kecil itu tidak
terlalu saya hiraukan, karena saya sedang disibukkan oleh banyak hal. misalnya
saja, saya sedang sangat sibuk membaca buku untuk penulisan tesis saya. Ya
walau lebih sering kegiatan membaca itu saya interupsi, dengan dengkuran hebat
di atas kasur. Atau kesibukan lain saya, yang ada hubungannya dengan kegiatan
membaca tadi, yaitu mengetik tesis. Yang sama-sama sering diinterupsi oleh hal
yang sama dengan yang saya lakukan pada saat saya membaca, yaitu tidur. Atau
kesibukan saya untuk melakukan kerja-kerja domestik, seperti mencuci pakaian,
mencuci piring, menyapu, melipati pakaian, menyirami dua tanaman anggrek saya
yang hampir layu, dan sedikit memasak mie instan (gas di dapur sudah habis, dan
saya belum membelinya hingga saat ini. Itulah mengapa saya cuma bisa masak mie instan di rice
cooker. Semoga alasan ini terdengar logis).
Selain itu, sesungguhnya saya masih
punya banyak daftar pekerjaan, yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu,
misalnya mandi, sikat gigi, menyisir rambut dll. Eh, saya juga memiliki
kesibukan lainnya, yang lumayan sangat penting. Yaitu memikirkan jenis makanan
apa yang hendak saya beli. Hey! Itu pekerjaan yang berat. Bayangkan saja, di
saat perut melilit karena lapar, pikiran saya masih saja sibuk dengan segala
macam pertimbangan. Misalnya saja, di satu waktu saya bisa saja memiliki
keinginan untuk memakan banyak ragam makanan sekaligus, akan tetapi
pertimbangan ekonomi tidak mengijinkannya. Atau ada kalanya saya sangat ingin
makan makanan sehat, namun apa daya, di warung tidak ada makanan yang sehat,
semua memakai penyedap rasa, dan diolah melalui proses penggorengan. Dan di
kali yang lain, saya sama sekali tidak ingin makan apapun, tapi perut sudah
perih minta diisi, maka saya pun sibuk membujuk pikiran untuk mau makan, serta
merayu kaki agar mau untuk cepat-cepat keluar kost, dan membeli makan, hanya
agar saya tidak jatuh pingsan karena kelaparan.
Nah kembali pada pembahasan mengenai sakit gigi.
Sakit ini ada kaitannya dengan pembahasan terakhir. Pembahasan mengenai
makanan. Setelah saya abaikan, nyeri kecil di awal tadi, ternyata semakin hari
semakin menjadi. Si nyeri protes karena tidak diperhatikan! Ia berubah menjadi
monster besar yang menyakitkan. Terlebih lagi, saat nyeri melanda, saya masih
memaksa gigi itu untuk mengunyahkan tiap makanan yang masuk ke dalam mulut
saya. Mungkin si gigi berkata “kurang ajar! Udah lah gue gak diperhatiin, eh
malah masih dipaksa kerja keras! Dah gitu, ngunyah makanannya pake lama pulak.
Ini orang kayanya mesti dikasih pelajaran. Biar kapok dan gak semena-mena sama
gue!” dan alhasil, setelah proses pengabaian dan pemaksaan…eng ing eng! Saya
resmi sakit gigi. Duh rasa sakitnya bombastis sekali. Seperti ada yang mengambil
ketenangan dan kenyamanan hidup saya, dengan ganasnya. Namun pengambil
ketenangan dan kenyamanan itu tidak bisa saya serang balik. Huh! Rasanya gemas-gemas
gimana gitu. Bila dikehidupan nyata, ada subyek yang menyakiti saya, mungkin
bisa saya kasih bogem mentah. Ya, untuk sekedar melegakan perasaan, walau tidak
mengurangi rasa sakit yang saya alami. Tapi lihatlah kenyataan ini! Subyek itu
berada pada diri saya sendiri. Masa saya bogem tuh gigi? Lha yang modar kan
saya sendiri.
Ya pada akhirnya, yang saya lakukan hanya mencari obat pereda
rasa sakit. Saat obat itu tidak jua dapat menolong saya, akhirnya mekanisme
terakhir adalah pasrah. Saya berusaha menikmati rasa nyut-nyutan yang berasal
dari gigi geraham sebelah kanan, yang urutannya berada di bagian kedua dari
belakang. Rasa nyut-nyutan, yang merampas saya dari segala kesibukan saya. Rasa
nyut-nyutan yang mulai menjalar ke kepala dan organ tubuh lainnya. Dan juga rasa
nyut-nyutan yang saat ini jauh lebih berkuasa dari apapun juga, bahkan mungkin
lebih berkuasa dari presiden kita, Joko Widodo. Halaaaaah. Wassalam.
Kamis, 18 Juni 2015
Sakitnya Tuh di GIGI...
Kamis, 11 Juni 2015
Museum, Aku Cinta Padamu
sumber photo: www.yogyakarta.panduanwisata.id |
Museum. Apa yang pertama kali terlintas di
dalam kepala kita saat kata itu disebutkan? Gedung yang memamerkan
benda-benda yang umurnya jauh lebih tua dari usia kita? Atau bangunan yang
mempertontonkan hal-hal yang begitu-begitu saja? Kesan itu umum diungkapkan
oleh banyak orang, yang mungkin pernah sekali atau dua kali dalam hidupnya
bersentuhan dengan museum. Kesan kuno, monoton, membosankan, suram atau bahkan
mungkin juga seram, menempel dengan lekat dalam ingatan mereka. Lantas siapa yang mendatangi museum-museum
itu? Kebanyakan adalah murid-murid sekolah yang mendapat tugas untuk membuat
laporan kunjungan, saat mereka ikut kegiatan wisata belajar. Jadwal kunjungan
museum pun, terkadang hanya sebagai jadwal wajib. Agar kesan belajar saat
melancong itu pun tetap dianggap sah secara intelektual. Alih-alih mempelajari
secara serius apa yang ada di museum, para murid jauh lebih menantikan untuk bertandang
ke objek wisata alam, atau malah ke objek wisata belanja, yang dirasa lebih
menyenangkan.
Memang menyedihkan mengetahui hal tersebut. Serasa
ada tamparan keras di muka kita. Akan tetapi, itulah kenyataannya. Kita tidak
bisa menutup mata, bahwa ketertarikan para murid atau masyarakat umum, belum
begitu tinggi pada museum. Titik ini semestinya menjadi titik evaluasi untuk memeriksa,
apa penyebab dari kondisi tersebut. Menurut Statuta International Council of
Museums, museum adalah sebuah lembaga nirlaba, yang bersifat tetap untuk
melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, agar dapat
memperoleh, merawat, meneliti, mengkomunikasikan serta memamerkan aset-aset berharga
yang merupakan warisan bagi kemanusiaan dan lingkungan, untuk tujuan
pendidikan, pembelajaran dan rekreasi (kesenangan). Melalui definisi tersebut,
kita telah mendapat gambaran lengkap mengenai posisi museum sebagai medan
vital bagi kemanusiaan.
Harus diakui bila fungsi pendidikan dan
pembelajaran sudah dapat dicapai oleh museum. Museum jelas berada di garda
depan, selayaknya institusi pendidikan. Namun, apakah fungsi rekreasi atau
kesenangan sudah dapat dicapai? Saya kira belum. Itulah alasan mengapa jumlah
pengunjung museum tidak jua meningkat secara signifikan di setiap tahunnya. Ya,
walau sebenarnya kuantitas pengunjung, tidak dapat menjamin kualitas dari
pembelajaran yang didapatkannya. Akan tetapi dengan menjaring lebih banyak
pengunjung, maka kesempatan museum dalam memfungsikan dirinya sebagai bagian
dari pendidikan akan terbuka lebih luas.
Ada banyak kerja penataan yang mesti dilakukan
oleh pengelola museum, misalnya saja di bidang penyajian, display ruang pamer yang artistik dan ditunjang
media informasi berteknologi canggih, diharapkan dapat membuat pengunjung lebih
asyik mempelajari berbagal hal yang berkaitan dengan benda pamer. Atau dengan
setting benda pamer yang menarik, dengan tata cahaya yang tidak biasa, akan
mampu memanjakan pengunjung secara visual. Pengelola tidak perlu mengubah
museum selayaknya taman bermain, untuk menarik minat banyak orang. Namun akan lebih baik bila fasilitas museum dibuat jauh lebih nyaman lagi, dan dengan
tetap mempertahankan karakter khas dari museum itu sendiri.
Selanjutnya di bidang pelayanan, terutama pada akses
informasi. Tidak dipungkiri, melalui pelayanan informasilah kita dapat
mengetahui sejarah dan seluk beluk lainnya mengenai benda pamer. Informasi lapis pertama adalah informasi yang
dipublikasikan melalui laman yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas,
misalnya saja website dan media sosial (twitter, facebook, dan youtube). Sedangkan
informasi lapis kedua adalah informasi yang diberikan langsung di dalam ruang
pameran, baik oleh pemandu, atau oleh media informasi yang telah disediakan. Harapannya adalah agar mekanisme pewarisan sejarah pengetahuan dapat dicapai secara optimal.
Yang terakhir di bidang jaringan, sangat perlu kiranya
memelihara jaringan lokal, nasional dan internasional untuk pengembangan
standar museum, sehingga sumbangsih museum pada masyarakat dapat diberikan
secara maksimal. Ada forum komunikasi yang terpelihara secara berkelanjutan dan
baik antar museum, institusi dan komunitas pencinta museum. Pentingnya menggandeng
komunitas pencinta museum adalah karena minat mereka lah, nadi museum dapat
didenyutkan kembali dengan lebih cepat. Melalui perpanjangan tangan mereka, jumlah
peminat museum dapat terus ditingkatkan. Mereka semacam agen yang dapat
menyebarkan virus cinta museum pada banyak orang. Mungkin salah satunya adalah
saya. Ya, saya mengakui bahwa saya memiliki kecintaan yang tinggi pada museum. Selalu
ada hal baru yang mengejutkan sekaligus menyenangkan saat berkunjung ke museum.
Selayaknya pasar yang ekletik, saya seperti sedang berbelanja hal-hal yang tak
terduga. Di sana saya mengkonsumsi sesuatu, yaitu pengetahuan. Itulah alasan mengapa saya mencintai museum. Ya…Museum,
aku cinta padamu.
Langganan:
Postingan (Atom)