Berbicara
mengenai candi Borobudur, tidak akan menyekat kita untuk hanya berbicara di
ranah pembicaraan mengenai situs yang identik dengan agama Budha saja. Akan
tetapi akan mengantarkan kita pada pembicaan yang jauh lebih luas dari itu.
Candi Borobudur memang telah lebih dari seratus tahun yang lalu menjadi tempat
ziarah terbesar di dunia. Orang-orang datang dari seluruh penjuru dunia untuk
mendapatkan wahyu, dan mencari nilai-nilai yang dapat mengantarkan mereka untuk
mendekati kemuliaan spiritual dalam hidup.
Sebelum kita
memulai perjalanan pembelajaran menuju candi Borobudor, kita akan mengarahkan
langkah pertama pada candi Mendut terlebih dahulu. Candi Mendut merupakan awal
perjalan ziarah menuju candi Borobudur. Pada candi Mendut, terdapat banyak
relief yang memaparkan cerita-cerita binatang, yang sebenarnya menjelaskan
kehidupan masyarakat pada umumnya. Binatang pertama yang diceritakan adalah
tentang kura-kura yang dibawa terbang oleh dua ekor angsa. Kura-kura menggigit
sebatang kayu yang dipengang oleh angsa-angsa tadi. Melihat hal tersebut,
orang-orang memuji angsa-angsa yang pandai itu. Mendengar pujian yang
ditujuakan pada angsa-angsa, kura-kura tidak terima dan kemudian berteriak, serta
mengatakan bahwa dialah yang memiliki ide itu. Pada saat ia membuka mulutnya,
maka jatuhlah si kura-kura. Si kura-kura kemudian mati.
Cerita kedua
dalah mengenai si kera. Digambarkanlah si kera yang berlindung dari hujan dan
diejek oleh burung manyar. Karena diejek,
kera kemudian marah dan merusak rumah burung manyar. Dalam penggambaran
itu dimunculkan nilai bahwa lebih baik membantu daripada menjatuhkan pihak
lain. Upaya menjatuhkan, akan selalu membuahkan kejatuhan juga.
Cerita
selanjutnya dalah cerita tentang singa. Diperlihatkanlah sosok singa yang takut
kepada kambing, karena kambing mengatakan suka memakan kambing. Kera
menertawainya. Kera kemudian berniat untuk menemani singa dengan cara
mengikatkan dirinya pada perut singa. Setelah itu mereka berdua berjalan mendekati
kambing. Tapi singa masih takut pada kambing, sehingga singa kemudia berlari menjauh
dengan kencang, sehingga kera terseret dan akhirnya mati. Pada penggambaran itu
dimunculkan nilai bahwa walaupun bersahabat dengan yang kuat tidak akan selalu
merupakan pilihan paling baik.
Cerita lainnya
adalah cerita mengenai sekor kucing. Digambarkanlah kucing yang berpura-pura
bertobat menjadi pendeta dengan membawa tasbih, sehingga tikus-tikus mau
mendekat. Tapi kemudian ada satu tikus yang cerdas, dan mengatakan bahwa
pendeta yang saleh tidak hanya membawa tasbih tapi juga membawa kelinting. Si
kuncing kemudian menurut untuk membawa kelinting. Maka bila si kucing datang,
maka bunyilah kelinting yang dibawanya, dan bersembunyilah para tikus menghindari
si kucing. Nilai yang diajarkan melalui relief itu adalah apabila sebuah upaya menipu
dilancarkan, akan menimbulkan tipuan lainnya yang memukul balik.
Cerita terakhir
adalah cerita tentang seekor burung berkepala dua. Pada burung itu terlihat
keadaan yang sangat berbeda, yaitu kepala atas memakan buah yang lezat, kepala bawah hanya dapat sisa-sisanya. Mengalami hal itu si kepala bawah protes,
namun kepala atas mengatakan bahwa si kepala bawah tidak perlu memakan yang
lezat, karena semua makanan itu akan masuk ke perut yang sama. Pada suatu hari
si kepala bawah nekat memakan jamur beracun, dan mengakibatkan kematian burung
tersebut dengan dua kepalanya sekalgus.
Hal-hal yang
ditunjukkan melalui cerita binatang-binatang itu, sebenarnya menyadarkan kita sebagai
manusia, bahwa kesombongan dan kerakusan merupakan hal yang tidak jauh dari
sifat manusia.
Di dalam candi Mendut,
kita akan menemukan patung sang Budha yang telah mengatasi segala kepincangan
dan pertentangan masyarakat. Sikap tangan yang menunjukkan roda kehidupan yaitu
sebab akibat dikuasasi sepenuhnya. Namun kita sebagai manusia masih jauhdari
nilai semacam itu. Candi Mendut berada di dekat sungai dua sungai yaitu sungai Elo
dan Progo. Bila melakukan perjalanan ke Borobudur, kita harus menyebrangi dua
sungai tersebut dan singgah ke candi Pawon. Candi pawon, tempat beristirahat dan mempersiapkan diri
untuk pengalaman rohani yang mereka nanti-nantikan.
Bila pada masa
kini, kita bisa dengan mudahnya memulai ziarah dari candi Mendut ke candi Borobudur
dengan menggunakan mobil yang akan ditempuh hanya dalam beberapa menit. Namun
pada masa lalu, jarak itu tidak dapat ditempuh dalam waktu yang singkat. Para
peziarah harus menempuh jarak yang cukup jauh, serta harus turun dan
menyebrangi sungai Elo dan Progo dengan berjalan kaki , di saat sungai surut.
Namun dapat juga ditempuh dengan menggunakan perahu di saat sungai pasang.
Hal yang
digambarkan di candi Mendut mengenai penggambaran burung dengan kepala atas dan
kepala bawah adalah gambaran nyata masyarakat kita. Perbedaan-perbedaan dan
jarak dari tiap status kelas selalu membuahkan permasalahan sosial yang tiada
habisnya.
Beralih dari
candi mendut, kita akan berbicara mengenai candi Borobudur. Candi Borobudur
memiliki 1300 relief. Relief itu dapat dilihat dengan cara mengelilingi candi.
Pada putaran pertama, relief yang berjumlah 120 itu bercerita tentang riwayat
hidup calon Budha. Relief pertama menggambarkan
ratu Maya yang merupakan ibunda sang Budha yang sedang bermimpi. Mimpi
itu memperlihatkan seekor gajah yang turuh dari kahyangan dan masuh ke dalam
diri ratu maya. Kemudian ratu Maya mengandung. Ketika akan melahirkan, ratu Maya
menempuh perjalan ke suatu tempat yaitu ke hutan Lumini untuk melahirkan
anaknya yang kelak menjadi sang Budha. Kelahiran itu diiringi kejadian luar
biasa, bayi itu lahir dan langsung bisa berjalan. Dalam tujuh langkah
pertamanya, tumbuh tujuh bunga teratai. Calon Budha dipangku oleh bibinya,
karena ratu maya meninggal sesaat setelah melahirkan. Ada juga penggambaran
tiga dewa dalam relief itu menunjukan bahwa calon Budha sangat mulia.
Setelah dewasa, calon
Budha kemudian dikawinkan dan dibuatkan tiga istana, tapi calon Budha tidak
selamanya tinggal di istana. Calon Budha menemukan hal-hal yang merubahnya
melalui empat pertemuan besarnya. Pertemuan besarnya adalah ketika dia bertemu dengan
orang tua, orang sakit dan orang mati. Ketiga pertemuan itu adalah perwakilan
dari ketakutan manusia pada keadaan-keadaan tadi. Namun pada saat ia bertemu
seorang biarawan, calon Budha melihat bahwa biarawan itu telah terlepas dari
ketakutan-ketakutan tadi. Maka semenjak itu calon Budha memutuskan untuk hidup
seperti biarawan. Hal itu meresahkan ayahnya, yang kemudian mengambil langkah
untuk mengurung calon Budha di istana, dan memberikannya banyak perempuan.
Namun calon Budha muak dengan hal tersebut, dan diam-diam dia melarikan diri dari
istana. Maka mulai saat itulah calon Budha memulai prosesnya untuk menjadi Budha
dengan bertapa dibawah pohon bodi.
Penggambaran awal
mengenai perjalanan calon Budha menjadi seorang Budha adalah penggambaran
mengenai proses pilihan manusia untuk menjadi sosok yang mampu meninggalkan
keduniawian , menuju sesuatu yang jauh lebih mulia. Relief-relief dan
stupa-stupa yang berjumlah 72 dengan satu stupa induk itu, memberikan banyak
penceritaan dan banyak pembelajaran pada kita sebagai manusia yang masih
bergelut dengan nilai-nilai keduniawian untuk kepentingan pribadi. Kita sering
kali lupa dengan nilai-nilai yang jauh lebih tinggi, yaitu nilai kemanusiaan.
Sebuah nilai mulia yang memang sungguh berat untuk dilakukan. Borobudur, hadir
tidak hanya dengan kemegahannya, namun dengan nilai spiritual dan kulturalnya.
Kesejarahan yang mungkin saja berdarah-darah dilalui oleh rakyat pada masa
kejayaan Syailendra, untuk membangun sebuah mahakarya, tidak hanya berhenti
pada suatu masa, namun akan berlanjut hingga masa selanjutnya. Pembelajaran yang melintas batas, baik batas
waktu, kepercayaan, maupun kebudayaan. Semua dapat kita temui dalam proses
ziarah yang tak berkesudahan di candi Borobudur yang luar biasa itu.
Sumber: Film Dokumenter "Belajar dari Bororbudur" produksi SAVPUSKAT Yogyakarta.