Rabu, 01 Agustus 2012

Photo dalam Ranah Denotasi dan Konotasi Semiotika


Bagi para penyuka photo, baik photo jurnalistik, photo estetik ataupun photo narsistik (ini yang sering dianut oleh kita-kita), sebuah produk photo akan selalu menghadirkan makna tersendiri. Baik makna tunggal maupun jamak. Bila sebuah produk photo kemudian kita tarik ke ranah pembicaraan semiotik, terutama seperti yang diutarakan oleh Roland Bartes, maka kita harus ‘menelanjanginya’ melalui tahapan denotasi dan konotasinya. Pada ranah denotasi, photo mentransmisikan  sebuah realitas yang terekam.  Ada Imaji fotografi atau analogon yang merupakan turunan atau  salinan dari realitas yang terjadi dari sebuah peristiwa yang tertangkap dari sebuah peristiwa. Analogon inilah yang diterima sebagai kekuatan photo tersebut.  Analogon yang hadir dari photo, adalah juga bentuk pesan yang disampaikan pada ranah denotasi. Sedangkan pesan pada ranah konotasi yang diungkapkan oleh photo tersebut akan didapatkan berdasarkan pada pandangan dan pembacaan dari orang/ masyarakat yang mencermatinyanya.
Ranah pemaknaan konotasi yang dihadirkan oleh photo, selalu dilihat dari latarbelakang historis dan kultural. Sehingga pada taraf pembacaan  atas segala sesuatu yang tampak, baik ekspresi, gestur, efek, sikap, dan hal lainnya yang ditampakkan dalam photo selalu bersifat relatif. Semua tergantung pada penilaian, kebiasaan serta pandangan dari masyarakat tertentu.
Photo tidak selalu hadir dengan nilai dan pemaknaan yang natural seperti halnya yang didapatkan dari pemaknaan denotatif. Akan tetapi akan selalu  mewakili tanda atau simbol yang mewakili kode-kode tertentu di dalam alur kesejarahan sebuah masyarakat.  Sehingga upaya dalam pencarian makna tersebut, harus terlebih dahulu diawali oleh mekanisme pengasingan dari semua makna denotatifnya, yaitu dengan cara menginventarisasi, dan menata semua elemen sosial budaya dan historis di dalam photo.
Namun pemaknaan konotatif tidak hanya berada pada tingkatan pembacaan secara keseluruhan salinan realitas yang diangkat di dalam photo. Akan tetapi juga dapat dilakukan dalam secara terbatas pada bagian-bagian tertentu dari analogon yang ditampilkannya.  Hal lain yang mungkin akan dihasilkan dalam ranah konotasi adalah pertanyaan-pertanyaan yang dilatarbelakangi permasalahan sosial, budaya dan sejarah si pembaca, atau penafsir.
            Nah dari penjelasan di atas, kita dapat menarik sebuah garis demarkasi yang jelas dalam penafsiran sebuah photo. Bisa saja, photo narsis yang selama ini kita buat, akan diartikan sebagai sebuah pengabadian kecantikan/ ketampanan bila ditafsirkan dalam ranah denotatif. Akan tetapi mungkin saja dapat diartikan sebagai sebuah pelecehan, bila dilihat dari ranah konotatif, terutama bila kita menggunakan simbol-simbol yang secara historis ataupun kultural, adalah sebuah simbol yang dianggap melanggar oleh sekelompok masyarakat yang lain. Selalu ada ranah konotasi yang berbeda, yang ditangkap oleh pandang yang berbeda pula. Jadi...selamat menafsirkan  ...

Sumber referensi :
Barthes, Roland (1977), “Image Music Text”, selected and translated by Stephen Heath, Fontana Press, London.

Rabu, 18 Juli 2012

IMF dan Seputar Kritik terhadapnya


International Monetary Fund, atau yang kerap kita sebut sebagai IMF lahir sebagai tanggapan atas kondisi ekonomi pasca perang dunia kedua. IMF tidak lahir sendirian, akan tetapi juga hadir bersama ‘saudara-saudaranya’, yaitu International Bank forReconstruction and Development (yang kita kenal sebagai World Bank), serta International Trade Organization atau World Trade Organization. Tujuan pendirian IMF berupa upaya mendorong kerjasama moneter internasional, membantu tercapainya perluasan dan keseimbangan pertumbuhan perdagangan internasional, mendorong stabilitas nilai tukar, menghapus hambatan transaksi antarnegara, memberikan bantuan keuangan secara temporer dan juga mengurangi permasalahan dalam ketidakseimbangan neraca pembayaran negara anggota.

Mencermati tujuan pendiriannya, dapat dibayangkan bahwa IMF sangatlah penting keberadaan dan fungsinya, terutama bagi negara-negara anggotanya. Keberadaan dan fungsi yang dialamatkan sebagai upaya mencapai kemaslahatan bersama, pada prakteknya (berdasarkan pengalaman dari negara-negara anggota) tidak berlaku demikian. IMF lebih mengesankan membawa ‘misi tertentu’, terutama misi yang dibawa oleh kelompok yang tergabung dalamG-3 (Amerika, Uni Eropa dan Jepang).  Negara-negara dalam kelompok G-3 merupakan nasabah terbesar bagi IMF. Secara logis,   nasabah terbesar adalah nasabah yang memiliki pengaruh dan kuasa yang cukup besar, sehingga slogan: One Dollar, One Vote! berlaku di sana. Dominasi G-3 sangat dirasakan, terutama pada wilayah kebijakan-kebijakan di dalam tubuh IMF. Kebijakan-kebijakan yang cenderung merugikan negara-negara berkembang.

Melihat keadaan semacam itu, maka timbul pertanyaan: lantas mengapa negara-negara berkembang (yang merasa dirugikan) tidak menyatukan suara, untuk melakukan tindakan terhadap ketimpangan tersebut? bukankah bila diprosentasekan, jumlah negara-negara berkembang yang menjadi anggota IMF jauh lebih banyak dari pada negara-negara yang tergabung dalam G-3? Salah satu jawaban atas pertanyaan tersebut adalah karena adanya permasalahan geopolitik dari negara-negara tersebut. Hal itu menyebabkan terpecahnya suara dan semangat untuk mengatasi kondisi yang merugikan mereka.

Keadaan semacam ini tidak bisa dihindari oleh negara-negara yang mengalami kerugian yang diakibatkan dari kebijakan-kebijakan IMF. Keberadaan IMF akan selalu dibutuhkan dalam upaya-upaya stabilitas suatu negara. Negara yang berorientasi untuk menyeimbangkan neracanya (apabila defisit), selalu dihadapkan pada kondisi dimana negara itu membutuhkan pertolongan dari pihak lain. Pihak lain yang dimaksud adalah negara atau lembaga yang dapat membantu menyeimbangkan neracanya. Bantuan tersebut dapat diartikan sebagai hutang. Hutang yang didapatkan sebuah negara menyaratkan adanya penjamin, sehingga negara atau lembaga pemberi hutang akan dapat melepaskan dananya dengan tenang.  Ketenangan tersebut dihadirkan melalui keberadaan IMF. IMF akan berlaku sebagai gatekeepers bagi negara-negara donor dan lembaga keuangan internasional lainnya. IMF dan WB hanya berlaku sebagai lembaga alternatif peminjaman dana (misalnya saja peminjaman dalam konteks G to G). Namun, negara donor yang meminjamkan dananya pada negara lain seringkali memiliki kekhawatiran, apabila negara peminjam tidak dapat mengembalikan dana tersebut. Sehingga negara donor (peminjam) akan membutuhkan IMF dan WB sebagai penjamin mereka.

        Banyak kritik yang ditujukan pada IMF dan WB, seputar praktek dan kebijakan ekonomi yang dikenakannya pada negara-negara anggota. Kritik tersebut berkisar mengenai:
1.      Tidak ada akuntabilitas rakyat . Rakyat tidak selalu diikutsertakan dalam pengambilan keputusan untuk proses peminjaman
2.      Kebijakan yang diajukan belum tentu ampuh untuk mengatasi krisis suatu negara
3.      Berat untuk jangka pendek, sehingga berimplikasi pada pemotongan ongkos kesejahteraan rakyat
4.      Proses pengambilan putusan dalam lembaga- lembaga tersebut tidak demokratis. Pada slogan  “one dollar one vote”, terlihat pengaruh negara tertentu terlalu besar.
5.      syarat-syarat tambahan yang diberikan oleh IMF, tidak selalu relevan dengan krisis yang ditangani (stabilisation programme), bahkan hal tersebut berbalik menjadi menghambat proses pemulihan. IMF menuntut bahwa dalam keadaan krisis, suatu negara harus kikir agar dapat membayar hutang. Negara tersebut tidak diajurkan untuk bertindak sebaliknya, serta menganjurkan negara itu untuk memperpanjang hutangnya. Padahal kondisi semacam itu akan semakin merugikan, bahkan mencekik rakyat dari negara peminjam dana. Dari sekian negara yang pernah mengalami krisis, namun dengan berani menolak memperpanjang hutangnya dari IMF adalah Malaysia, Argentina dan Islandia.
6.      Word Bank dianggap memiliki “mission creep”. Karena ia memulai misinya dengan menciptakan serta mengembangkan pembangunan. Namun misi WB kemudian beralih menjadi misi tentang liberalisasi pasar, kemiskinan dan governance.
 
Kritik terhadap IMF,  WB  ataupun WTO selalu mengiringi kebijakan lembaga-lembaga tersebut. Kebutuhan akan keberadaan mereka adalah sebuah hal ‘wajib’ dalam hubungan antar negara. Keterikatan dan kebutuhan inilah yang selalu menjadi keterjebakan yang menggobal dan berkelanjutan.

Rabu, 02 November 2011

Membaca (awal) Imagined Communities- Benedict Anderson



Benedict Anderson pada buku yang berjudul “Imagined Communities”, terutama pada awal-awal penulisan buku tersebut, banyak membahas sekaligus melakukan kritik praktek nasoinalisme yang umumnya tumbuh pasca perang dunia II. Nasionalisme dilihat sebagai kegagalan ataupun anomali dari Marxisme. Nasionalisme cenderung dianggap sebagai nilai paling absah secara universal dalam kehidupan politik jaman ini. Namun, Anderson memiliki pendapat yang berbeda mengenai hal tersebut.
Saya akan mencoba mengemukakan argumen bahwa penciptaan artefak-artefak ini pada akhir abad ke-delapan belas merupakan penyulingan spontan atas ‘persilangan’ berbagai kekuatan historis; namun, sekali tercipta, artefak-artefak itu menjadi ‘modular’, dapat ditanamkan, dengan berbagai derajat kesadaran-diri, ke berbagai bentangan sosial yang luas, untuk melebur dan dileburkan dengan serangkaian tata politis dan ideologis yang luas pula. (Anderson, 2002:6).
Pada tulisan diatas, Anderson mengumpamakan nasionalisme sebagai artefak-artefak budaya jenis khusus. Hal tersebut mungkin bertentangan dengan keadaan yang sekarang terjadi. Bagaimana mungkin mengkategorikan nasionalisme sebagai sebuah barang kuno yang tidak sesuai dengan konteks kekinian, padahal nasionalisme adalah hal yang masih saja hidup hingga dan dihidupkan oleh masyaakat di seluruh bangsa hingga saat ini.
Akan tetapi sepertinya kita harus melihat argumen yang mengantarkan Anderson pada pernyataannya tersebut. Ia berangkat dari pemahaman bahwa bangsa atau nation adalah komunitas politis yang dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Menurutnya lagi,  para anggota nation tersebut sebenarnya tidak saling mengenal satu dengan lainnya, bahkan tidak semua dari mereka pernah bertatap muka. Namun sebagai anggota sebuah bangsa, mereka hidup dalam sebuah kebersamaan yang terbayang.
Argumen Anderson mengenai hal tersebut dimulai dari fokus historis mengenai munculnya nasionalisme. Nasionalisme yang tumbuh dari komunitas religius tidaklah selalu berbasis kewilayahan, namun yang pasti berasal dari kepercayaan yang sama antar pemeluknya. Bahasa-bahasa keagaamaan yang sakral adalah kunci pemersatu keterbayangan atas kebersamaan mereka. Sebagai contohnya saja, ideogram Latin atau Arab dianggap sebagai pancaran realitas. Bahasa Latin yang digunakan pada misa Katolik, ataupun bahasa Arab yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah bahasa-bahasa agama yang kebenarannya di yakini betul oleh umatnya. Sehingga bahasa sakral in pulalh yang dapat menyatukan umat suatu agama, walaupun bahasa ibu mereke berbeda, namun mereka memiliki kebersamaan yang terbayang antara satu dengan lainnya sebagai satu kesatuan.
Selain itu, nasionalisme juga tumbuh melalui alasan di ranah dinastik. Pada sistem kekuasaan, bentuk ini didapatkan secara gaib, bukan dari rakyat. Pada sistem inilah diwariskan garis kebersamaan melalui persatuan populasi-populasi yang berbeda dalam perkawinan-perkawinan dinastik. Pernyatuan bangsa berdasar perkawinan para penguasa.
Pengejawantahan simbol-simbol kebersamaan di masa lalu ke dalam bentul visualisasi yang aural masa kini, adalah juga salah satu bentuk upaya penyatuan kebersamaan yang melintas batas waktu. Sehingga konsepsi-konsepsi mengenai asal muasal dunia dan keberadaan manusia akan adalah hal yang identik.
Dari semua alur historis yang ditarik oleh Anderson, nasionalisme tetaplah dibagun kebersamaannya yang imajiner melalui bahasa. Mekanisme bahasa inilah yang kemudian dapat mengintrepretasi setiap maksud individu mengenai kebersamaan kedalam pemahaman komunal.
Pemahaman komunal yang beranjak menjadi kesadaran nasional adalah juga karena efek kunci dari perkembangan percetakan. Percetakan mampu mengakomodir perluasan gagasan-gagasan mengenai kesadaran tersebut.kesadaran tersebut mengantarkan pada kemungkinan lahirnya komunitas terbayang yang baru. Tidak lagi hanya terbatas pada ranah lama, seperti yang dituliskan di atas, namun sudah dapat membentuk komunitas yang memilki semangat mengenai satu kesatuan yang lebih berani mengesampingkan sisi melankolinya. Memang pada ranah ini, akan terasa keterbatasan ‘kebersamaan’, namun konteks nasionalisme yang dibangun jauh lebih ‘nyata’ dan terasa kebenarannya karena dipergunakannya bahasa ibu dari bangsa-bangsa tersebut.
Anderson memang mencoba untuk sedikit mengkritisi bentuk komunitas terbayang yang menggunakan semangat nasionalisme. Ia tidak secara langsung menyebutkan bahwa nasionalisme sebagai bentuk ‘kekacauan’ dan berpemahaman kebangsaan, namun mencoba mengkritisi gerakan masal ini sebagai gerakan yang kadang hanya mencomot ideologi-ideologi yang berserak, dijadikan satu atau dikompilasi, namun tidak berkecenderungan secara jelas arahnya. Tapi yang pasti, nasionalisme yang bergaung di hampir seluruh pelosok dunia, menuntut penjelasan lebih lanjut. Karena nasionalime yang dibangun tersebut sering diyakini sebagai sebuah semangat mendasar sebuah bangsa , namun tidak dipahami secara sadar, belum menyeluruh dan terbayang.

Senin, 31 Oktober 2011

Borobudur yang melintas batas


Berbicara mengenai candi Borobudur, tidak akan menyekat kita untuk hanya berbicara di ranah pembicaraan mengenai situs yang identik dengan agama Budha saja. Akan tetapi akan mengantarkan kita pada pembicaan yang jauh lebih luas dari itu. Candi Borobudur memang telah lebih dari seratus tahun yang lalu menjadi tempat ziarah terbesar di dunia. Orang-orang datang dari seluruh penjuru dunia untuk mendapatkan wahyu, dan mencari nilai-nilai yang dapat mengantarkan mereka untuk mendekati kemuliaan spiritual dalam hidup.
Sebelum kita memulai perjalanan pembelajaran menuju candi Borobudor, kita akan mengarahkan langkah pertama pada candi Mendut terlebih dahulu. Candi Mendut merupakan awal perjalan ziarah menuju candi Borobudur. Pada candi Mendut, terdapat banyak relief yang memaparkan cerita-cerita binatang, yang sebenarnya menjelaskan kehidupan masyarakat pada umumnya. Binatang pertama yang diceritakan adalah tentang kura-kura yang dibawa terbang oleh dua ekor angsa. Kura-kura menggigit sebatang kayu yang dipengang oleh angsa-angsa tadi. Melihat hal tersebut, orang-orang memuji angsa-angsa yang pandai itu. Mendengar pujian yang ditujuakan pada angsa-angsa, kura-kura tidak terima dan kemudian berteriak, serta mengatakan bahwa dialah yang memiliki ide itu. Pada saat ia membuka mulutnya, maka jatuhlah si kura-kura. Si kura-kura kemudian mati.
Cerita kedua dalah mengenai si kera. Digambarkanlah si kera yang berlindung dari hujan dan diejek oleh burung manyar. Karena diejek,  kera kemudian marah dan merusak rumah burung manyar. Dalam penggambaran itu dimunculkan nilai bahwa lebih baik membantu daripada menjatuhkan pihak lain. Upaya menjatuhkan, akan selalu membuahkan kejatuhan juga.
Cerita selanjutnya dalah cerita tentang singa. Diperlihatkanlah sosok singa yang takut kepada kambing, karena kambing mengatakan suka memakan kambing. Kera menertawainya. Kera kemudian berniat untuk menemani singa dengan cara mengikatkan dirinya pada perut singa. Setelah itu mereka berdua berjalan mendekati kambing. Tapi singa masih takut pada kambing, sehingga singa kemudia berlari menjauh dengan kencang, sehingga kera terseret dan akhirnya mati. Pada penggambaran itu dimunculkan nilai bahwa walaupun bersahabat dengan yang kuat tidak akan selalu merupakan pilihan paling baik.
Cerita lainnya adalah cerita mengenai sekor kucing. Digambarkanlah kucing yang berpura-pura bertobat menjadi pendeta dengan membawa tasbih, sehingga tikus-tikus mau mendekat. Tapi kemudian ada satu tikus yang cerdas, dan mengatakan bahwa pendeta yang saleh tidak hanya membawa tasbih tapi juga membawa kelinting. Si kuncing kemudian menurut untuk membawa kelinting. Maka bila si kucing datang, maka bunyilah kelinting yang dibawanya, dan bersembunyilah para tikus menghindari si kucing. Nilai yang diajarkan melalui relief itu adalah apabila sebuah upaya menipu dilancarkan, akan menimbulkan tipuan lainnya yang memukul balik.
Cerita terakhir adalah cerita tentang seekor burung berkepala dua. Pada burung itu terlihat keadaan yang sangat berbeda, yaitu kepala atas memakan buah yang lezat,  kepala bawah hanya dapat sisa-sisanya.  Mengalami hal itu si kepala bawah protes, namun kepala atas mengatakan bahwa si kepala bawah tidak perlu memakan yang lezat, karena semua makanan itu akan masuk ke perut yang sama. Pada suatu hari si kepala bawah nekat memakan jamur beracun, dan mengakibatkan kematian burung tersebut dengan dua kepalanya sekalgus.
Hal-hal yang ditunjukkan melalui cerita binatang-binatang itu, sebenarnya menyadarkan kita sebagai manusia, bahwa kesombongan dan kerakusan merupakan hal yang tidak jauh dari sifat manusia.
Di dalam candi Mendut, kita akan menemukan patung sang Budha yang telah mengatasi segala kepincangan dan pertentangan masyarakat. Sikap tangan yang menunjukkan roda kehidupan yaitu sebab akibat dikuasasi sepenuhnya. Namun kita sebagai manusia masih jauhdari nilai semacam itu. Candi Mendut berada di dekat sungai dua sungai yaitu sungai Elo dan Progo. Bila melakukan perjalanan ke Borobudur, kita harus menyebrangi dua sungai tersebut dan singgah ke candi Pawon. Candi pawon,  tempat beristirahat dan mempersiapkan diri untuk pengalaman rohani yang mereka nanti-nantikan.
Bila pada masa kini, kita bisa dengan mudahnya memulai ziarah dari candi Mendut ke candi Borobudur dengan menggunakan mobil yang akan ditempuh hanya dalam beberapa menit. Namun pada masa lalu, jarak itu tidak dapat ditempuh dalam waktu yang singkat. Para peziarah harus menempuh jarak yang cukup jauh, serta harus turun dan menyebrangi sungai Elo dan Progo dengan berjalan kaki , di saat sungai surut. Namun dapat juga ditempuh dengan menggunakan perahu di saat sungai pasang.
Hal yang digambarkan di candi Mendut mengenai penggambaran burung dengan kepala atas dan kepala bawah adalah gambaran nyata masyarakat kita. Perbedaan-perbedaan dan jarak dari tiap status kelas selalu membuahkan permasalahan sosial yang tiada habisnya.
Beralih dari candi mendut, kita akan berbicara mengenai candi Borobudur. Candi Borobudur memiliki 1300 relief. Relief itu dapat dilihat dengan cara mengelilingi candi. Pada putaran pertama, relief yang berjumlah 120 itu bercerita tentang riwayat hidup calon Budha. Relief pertama menggambarkan  ratu Maya yang merupakan ibunda sang Budha yang sedang bermimpi. Mimpi itu memperlihatkan seekor gajah yang turuh dari kahyangan dan masuh ke dalam diri ratu maya. Kemudian ratu Maya mengandung. Ketika akan melahirkan, ratu Maya menempuh perjalan ke suatu tempat yaitu ke hutan Lumini untuk melahirkan anaknya yang kelak menjadi sang Budha. Kelahiran itu diiringi kejadian luar biasa, bayi itu lahir dan langsung bisa berjalan. Dalam tujuh langkah pertamanya, tumbuh tujuh bunga teratai. Calon Budha dipangku oleh bibinya, karena ratu maya meninggal sesaat setelah melahirkan. Ada juga penggambaran tiga dewa dalam relief itu menunjukan bahwa calon Budha sangat mulia.
Setelah dewasa, calon Budha kemudian dikawinkan dan dibuatkan tiga istana, tapi calon Budha tidak selamanya tinggal di istana. Calon Budha menemukan hal-hal yang merubahnya melalui empat pertemuan besarnya. Pertemuan besarnya adalah ketika dia bertemu dengan orang tua, orang sakit dan orang mati. Ketiga pertemuan itu adalah perwakilan dari ketakutan manusia pada keadaan-keadaan tadi. Namun pada saat ia bertemu seorang biarawan, calon Budha melihat bahwa biarawan itu telah terlepas dari ketakutan-ketakutan tadi. Maka semenjak itu calon Budha memutuskan untuk hidup seperti biarawan. Hal itu meresahkan ayahnya, yang kemudian mengambil langkah untuk mengurung calon Budha di istana, dan memberikannya banyak perempuan. Namun calon Budha muak dengan hal tersebut, dan diam-diam dia melarikan diri dari istana. Maka mulai saat itulah calon Budha memulai prosesnya untuk menjadi Budha dengan bertapa dibawah pohon bodi.
Penggambaran awal mengenai perjalanan calon Budha menjadi seorang Budha adalah penggambaran mengenai proses pilihan manusia untuk menjadi sosok yang mampu meninggalkan keduniawian , menuju sesuatu yang jauh lebih mulia. Relief-relief dan stupa-stupa yang berjumlah 72 dengan satu stupa induk itu, memberikan banyak penceritaan dan banyak pembelajaran pada kita sebagai manusia yang masih bergelut dengan nilai-nilai keduniawian untuk kepentingan pribadi. Kita sering kali lupa dengan nilai-nilai yang jauh lebih tinggi, yaitu nilai kemanusiaan. Sebuah nilai mulia yang memang sungguh berat untuk dilakukan. Borobudur, hadir tidak hanya dengan kemegahannya, namun dengan nilai spiritual dan kulturalnya. Kesejarahan yang mungkin saja berdarah-darah dilalui oleh rakyat pada masa kejayaan Syailendra, untuk membangun sebuah mahakarya, tidak hanya berhenti pada suatu masa, namun akan berlanjut hingga masa selanjutnya.  Pembelajaran yang melintas batas, baik batas waktu, kepercayaan, maupun kebudayaan. Semua dapat kita temui dalam proses ziarah yang tak berkesudahan di candi Borobudur yang luar biasa itu.




Sumber: Film Dokumenter "Belajar dari Bororbudur" produksi SAVPUSKAT Yogyakarta.
 

Semua tentang Vini Biroe Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting