Selasa, 11 September 2012
Rabu, 01 Agustus 2012
Photo dalam Ranah Denotasi dan Konotasi Semiotika
Bagi para penyuka photo, baik
photo jurnalistik, photo estetik ataupun photo narsistik (ini yang sering
dianut oleh kita-kita), sebuah produk photo akan selalu menghadirkan makna
tersendiri. Baik makna tunggal maupun jamak. Bila sebuah produk photo kemudian
kita tarik ke ranah pembicaraan semiotik, terutama seperti yang diutarakan oleh
Roland Bartes, maka kita harus ‘menelanjanginya’ melalui tahapan denotasi dan
konotasinya. Pada ranah denotasi, photo mentransmisikan sebuah realitas yang terekam. Ada Imaji fotografi atau analogon yang merupakan turunan
atau salinan dari realitas yang terjadi
dari sebuah peristiwa yang tertangkap dari sebuah peristiwa. Analogon inilah yang diterima sebagai
kekuatan photo tersebut. Analogon yang
hadir dari photo, adalah juga bentuk pesan yang disampaikan pada ranah
denotasi. Sedangkan pesan pada ranah konotasi yang diungkapkan oleh photo
tersebut akan didapatkan berdasarkan pada pandangan dan pembacaan dari orang/ masyarakat
yang mencermatinyanya.
Ranah pemaknaan konotasi yang
dihadirkan oleh photo, selalu dilihat dari latarbelakang historis dan kultural.
Sehingga pada taraf pembacaan atas
segala sesuatu yang tampak, baik ekspresi, gestur, efek, sikap, dan hal lainnya
yang ditampakkan dalam photo selalu bersifat relatif. Semua tergantung pada
penilaian, kebiasaan serta pandangan dari masyarakat tertentu.
Photo tidak selalu hadir dengan
nilai dan pemaknaan yang natural seperti halnya yang didapatkan dari pemaknaan
denotatif. Akan tetapi akan selalu
mewakili tanda atau simbol yang mewakili kode-kode tertentu di dalam
alur kesejarahan sebuah masyarakat.
Sehingga upaya dalam pencarian makna tersebut, harus terlebih dahulu
diawali oleh mekanisme pengasingan dari semua makna denotatifnya, yaitu dengan
cara menginventarisasi, dan menata semua elemen sosial budaya dan historis di dalam
photo.
Namun pemaknaan konotatif tidak
hanya berada pada tingkatan pembacaan secara keseluruhan salinan realitas yang
diangkat di dalam photo. Akan tetapi juga dapat dilakukan dalam secara terbatas
pada bagian-bagian tertentu dari analogon
yang ditampilkannya. Hal lain yang mungkin akan dihasilkan
dalam ranah konotasi adalah pertanyaan-pertanyaan yang dilatarbelakangi permasalahan
sosial, budaya dan sejarah si pembaca, atau penafsir.
Nah dari penjelasan di atas, kita dapat menarik sebuah garis demarkasi yang
jelas dalam penafsiran sebuah photo. Bisa saja, photo narsis yang selama ini
kita buat, akan diartikan sebagai sebuah pengabadian kecantikan/ ketampanan bila
ditafsirkan dalam ranah denotatif. Akan tetapi mungkin saja dapat diartikan
sebagai sebuah pelecehan, bila dilihat dari ranah konotatif, terutama bila kita
menggunakan simbol-simbol yang secara historis ataupun kultural, adalah sebuah
simbol yang dianggap melanggar oleh sekelompok masyarakat yang lain. Selalu ada
ranah konotasi yang berbeda, yang ditangkap oleh pandang yang berbeda pula.
Jadi...selamat menafsirkan ...
Sumber referensi :
Barthes, Roland (1977), “Image Music Text”, selected and translated by Stephen Heath, Fontana Press, London.
Rabu, 18 Juli 2012
IMF dan Seputar Kritik terhadapnya
International Monetary Fund, atau yang
kerap kita sebut sebagai IMF lahir sebagai tanggapan atas kondisi ekonomi pasca
perang dunia kedua. IMF tidak lahir sendirian, akan tetapi juga hadir bersama
‘saudara-saudaranya’, yaitu International
Bank forReconstruction and Development (yang kita kenal sebagai World Bank), serta International Trade Organization atau World Trade Organization. Tujuan
pendirian IMF berupa upaya mendorong kerjasama moneter internasional, membantu
tercapainya perluasan dan keseimbangan pertumbuhan perdagangan internasional,
mendorong stabilitas nilai tukar, menghapus hambatan transaksi antarnegara,
memberikan bantuan keuangan secara temporer dan juga mengurangi permasalahan dalam
ketidakseimbangan neraca pembayaran negara anggota.
Mencermati
tujuan pendiriannya, dapat dibayangkan bahwa IMF sangatlah penting keberadaan
dan fungsinya, terutama bagi negara-negara anggotanya. Keberadaan dan fungsi
yang dialamatkan sebagai upaya mencapai kemaslahatan bersama, pada prakteknya
(berdasarkan pengalaman dari negara-negara anggota) tidak berlaku demikian. IMF
lebih mengesankan membawa ‘misi tertentu’, terutama misi yang dibawa oleh kelompok
yang tergabung dalamG-3 (Amerika, Uni Eropa dan Jepang). Negara-negara dalam kelompok G-3 merupakan
nasabah terbesar bagi IMF. Secara logis,
nasabah terbesar adalah nasabah yang memiliki pengaruh dan kuasa yang
cukup besar, sehingga slogan: One Dollar,
One Vote! berlaku di sana. Dominasi G-3 sangat dirasakan, terutama pada wilayah
kebijakan-kebijakan di dalam tubuh IMF. Kebijakan-kebijakan yang cenderung merugikan
negara-negara berkembang.
Melihat keadaan
semacam itu, maka timbul pertanyaan: lantas mengapa negara-negara berkembang (yang
merasa dirugikan) tidak menyatukan suara, untuk melakukan tindakan terhadap
ketimpangan tersebut? bukankah bila diprosentasekan, jumlah negara-negara
berkembang yang menjadi anggota IMF jauh lebih banyak dari pada negara-negara
yang tergabung dalam G-3? Salah satu jawaban atas pertanyaan tersebut adalah
karena adanya permasalahan geopolitik dari negara-negara tersebut. Hal itu
menyebabkan terpecahnya suara dan semangat untuk mengatasi kondisi yang
merugikan mereka.
Keadaan semacam
ini tidak bisa dihindari oleh negara-negara yang mengalami kerugian yang
diakibatkan dari kebijakan-kebijakan IMF. Keberadaan IMF akan selalu dibutuhkan
dalam upaya-upaya stabilitas suatu negara. Negara yang berorientasi untuk
menyeimbangkan neracanya (apabila defisit), selalu dihadapkan pada kondisi
dimana negara itu membutuhkan pertolongan dari pihak lain. Pihak lain yang
dimaksud adalah negara atau lembaga yang dapat membantu menyeimbangkan
neracanya. Bantuan tersebut dapat diartikan sebagai hutang. Hutang yang
didapatkan sebuah negara menyaratkan adanya penjamin, sehingga negara atau
lembaga pemberi hutang akan dapat melepaskan dananya dengan tenang. Ketenangan tersebut dihadirkan melalui
keberadaan IMF. IMF akan berlaku sebagai gatekeepers
bagi negara-negara donor dan lembaga keuangan internasional lainnya. IMF dan WB
hanya berlaku sebagai lembaga alternatif peminjaman dana (misalnya saja
peminjaman dalam konteks G to G).
Namun, negara donor yang meminjamkan dananya pada negara lain seringkali memiliki
kekhawatiran, apabila negara peminjam tidak dapat mengembalikan dana tersebut.
Sehingga negara donor (peminjam) akan membutuhkan IMF dan WB sebagai penjamin
mereka.
Banyak kritik yang ditujukan pada
IMF dan WB, seputar praktek dan kebijakan ekonomi yang dikenakannya pada
negara-negara anggota. Kritik tersebut berkisar mengenai:
1.
Tidak ada akuntabilitas rakyat . Rakyat tidak selalu diikutsertakan
dalam pengambilan keputusan untuk proses peminjaman
2.
Kebijakan yang diajukan belum tentu ampuh untuk mengatasi
krisis suatu negara
3.
Berat untuk jangka pendek, sehingga berimplikasi pada pemotongan
ongkos kesejahteraan rakyat
4.
Proses pengambilan putusan dalam lembaga- lembaga
tersebut tidak demokratis. Pada slogan “one
dollar one vote”, terlihat pengaruh negara tertentu terlalu besar.
5.
syarat-syarat tambahan yang diberikan oleh IMF, tidak
selalu relevan dengan krisis yang ditangani (stabilisation programme), bahkan
hal tersebut berbalik menjadi menghambat proses pemulihan. IMF menuntut bahwa dalam
keadaan krisis, suatu negara harus kikir
agar dapat membayar hutang. Negara tersebut tidak diajurkan untuk bertindak
sebaliknya, serta menganjurkan negara itu untuk memperpanjang hutangnya.
Padahal kondisi semacam itu akan semakin merugikan, bahkan mencekik rakyat dari
negara peminjam dana. Dari sekian negara yang pernah mengalami krisis, namun
dengan berani menolak memperpanjang hutangnya dari IMF adalah Malaysia,
Argentina dan Islandia.
6.
Word Bank dianggap memiliki “mission creep”. Karena ia memulai misinya dengan menciptakan serta
mengembangkan pembangunan. Namun misi WB kemudian beralih menjadi misi tentang liberalisasi
pasar, kemiskinan dan governance.
Kritik terhadap IMF, WB
ataupun WTO selalu mengiringi kebijakan lembaga-lembaga tersebut.
Kebutuhan akan keberadaan mereka adalah sebuah hal ‘wajib’ dalam hubungan antar
negara. Keterikatan dan kebutuhan inilah yang selalu menjadi keterjebakan yang
menggobal dan berkelanjutan.
Rabu, 02 November 2011
Membaca (awal) Imagined Communities- Benedict Anderson
Benedict Anderson pada buku yang berjudul
“Imagined Communities”, terutama pada awal-awal penulisan buku tersebut, banyak
membahas sekaligus melakukan kritik praktek nasoinalisme yang umumnya tumbuh
pasca perang dunia II. Nasionalisme dilihat sebagai kegagalan ataupun anomali
dari Marxisme. Nasionalisme cenderung dianggap sebagai nilai paling absah
secara universal dalam kehidupan politik jaman ini. Namun, Anderson memiliki
pendapat yang berbeda mengenai hal tersebut.
Saya akan mencoba
mengemukakan argumen bahwa penciptaan artefak-artefak ini pada akhir abad
ke-delapan belas merupakan penyulingan spontan atas ‘persilangan’ berbagai
kekuatan historis; namun, sekali tercipta, artefak-artefak itu menjadi
‘modular’, dapat ditanamkan, dengan berbagai derajat kesadaran-diri, ke
berbagai bentangan sosial yang luas, untuk melebur dan dileburkan dengan
serangkaian tata politis dan ideologis yang luas pula. (Anderson, 2002:6).
Pada tulisan diatas, Anderson mengumpamakan
nasionalisme sebagai artefak-artefak budaya jenis khusus. Hal tersebut mungkin
bertentangan dengan keadaan yang sekarang terjadi. Bagaimana mungkin
mengkategorikan nasionalisme sebagai sebuah barang kuno yang tidak sesuai
dengan konteks kekinian, padahal nasionalisme adalah hal yang masih saja hidup
hingga dan dihidupkan oleh masyaakat di seluruh bangsa hingga saat ini.
Akan tetapi sepertinya kita harus melihat argumen
yang mengantarkan Anderson pada pernyataannya tersebut. Ia berangkat dari
pemahaman bahwa bangsa atau nation adalah komunitas politis yang dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan.
Menurutnya lagi, para anggota nation
tersebut sebenarnya tidak saling mengenal satu dengan lainnya, bahkan tidak
semua dari mereka pernah bertatap muka. Namun sebagai anggota sebuah bangsa,
mereka hidup dalam sebuah kebersamaan yang terbayang.
Argumen Anderson mengenai hal tersebut dimulai
dari fokus historis mengenai munculnya nasionalisme. Nasionalisme yang tumbuh
dari komunitas religius tidaklah selalu berbasis kewilayahan, namun yang pasti
berasal dari kepercayaan yang sama antar pemeluknya. Bahasa-bahasa keagaamaan
yang sakral adalah kunci pemersatu keterbayangan atas kebersamaan mereka.
Sebagai contohnya saja, ideogram Latin atau Arab dianggap sebagai pancaran
realitas. Bahasa Latin yang digunakan pada misa Katolik, ataupun bahasa Arab
yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah bahasa-bahasa agama yang kebenarannya di
yakini betul oleh umatnya. Sehingga bahasa sakral in pulalh yang dapat
menyatukan umat suatu agama, walaupun bahasa ibu mereke berbeda, namun mereka
memiliki kebersamaan yang terbayang antara satu dengan lainnya sebagai satu
kesatuan.
Selain itu, nasionalisme juga tumbuh melalui
alasan di ranah dinastik. Pada sistem kekuasaan, bentuk ini didapatkan secara
gaib, bukan dari rakyat. Pada sistem inilah diwariskan garis kebersamaan
melalui persatuan populasi-populasi yang berbeda dalam perkawinan-perkawinan
dinastik. Pernyatuan bangsa berdasar perkawinan para penguasa.
Pengejawantahan simbol-simbol kebersamaan di masa
lalu ke dalam bentul visualisasi yang aural masa kini, adalah juga salah satu
bentuk upaya penyatuan kebersamaan yang melintas batas waktu. Sehingga konsepsi-konsepsi
mengenai asal muasal dunia dan keberadaan manusia akan adalah hal yang identik.
Dari semua alur historis yang ditarik oleh
Anderson, nasionalisme tetaplah dibagun kebersamaannya yang imajiner melalui
bahasa. Mekanisme bahasa inilah yang kemudian dapat mengintrepretasi setiap
maksud individu mengenai kebersamaan kedalam pemahaman komunal.
Pemahaman komunal yang beranjak menjadi kesadaran
nasional adalah juga karena efek kunci dari perkembangan percetakan. Percetakan
mampu mengakomodir perluasan gagasan-gagasan mengenai kesadaran
tersebut.kesadaran tersebut mengantarkan pada kemungkinan lahirnya komunitas
terbayang yang baru. Tidak lagi hanya terbatas pada ranah lama, seperti yang
dituliskan di atas, namun sudah dapat membentuk komunitas yang memilki semangat
mengenai satu kesatuan yang lebih berani mengesampingkan sisi melankolinya.
Memang pada ranah ini, akan terasa keterbatasan ‘kebersamaan’, namun konteks
nasionalisme yang dibangun jauh lebih ‘nyata’ dan terasa kebenarannya karena
dipergunakannya bahasa ibu dari bangsa-bangsa tersebut.
Anderson memang mencoba untuk sedikit mengkritisi bentuk komunitas
terbayang yang menggunakan semangat nasionalisme. Ia tidak secara langsung
menyebutkan bahwa nasionalisme sebagai bentuk ‘kekacauan’ dan berpemahaman
kebangsaan, namun mencoba mengkritisi gerakan masal ini sebagai gerakan yang
kadang hanya mencomot ideologi-ideologi yang berserak, dijadikan satu atau
dikompilasi, namun tidak berkecenderungan secara jelas arahnya. Tapi yang
pasti, nasionalisme yang bergaung di hampir seluruh pelosok dunia, menuntut penjelasan
lebih lanjut. Karena nasionalime yang dibangun tersebut sering diyakini sebagai
sebuah semangat mendasar sebuah bangsa , namun tidak dipahami secara sadar, belum
menyeluruh dan terbayang.
Langganan:
Postingan (Atom)