Kamis, 11 Juni 2015

Museum, Aku Cinta Padamu



sumber photo: www.yogyakarta.panduanwisata.id

Museum. Apa yang pertama kali terlintas di dalam kepala kita saat kata itu disebutkan? Gedung yang memamerkan benda-benda yang umurnya jauh lebih tua dari usia kita? Atau bangunan yang mempertontonkan hal-hal yang begitu-begitu saja? Kesan itu umum diungkapkan oleh banyak orang, yang mungkin pernah sekali atau dua kali dalam hidupnya bersentuhan dengan museum. Kesan kuno, monoton, membosankan, suram atau bahkan mungkin juga seram, menempel dengan lekat dalam ingatan mereka. Lantas siapa yang mendatangi museum-museum itu? Kebanyakan adalah murid-murid sekolah yang mendapat tugas untuk membuat laporan kunjungan, saat mereka ikut kegiatan wisata belajar. Jadwal kunjungan museum pun, terkadang hanya sebagai jadwal wajib. Agar kesan belajar saat melancong itu pun tetap dianggap sah secara intelektual. Alih-alih mempelajari secara serius apa yang ada di museum, para murid jauh lebih menantikan untuk bertandang ke objek wisata alam, atau malah ke objek wisata belanja, yang dirasa lebih menyenangkan.


Memang menyedihkan mengetahui hal tersebut. Serasa ada tamparan keras di muka kita. Akan tetapi, itulah kenyataannya. Kita tidak bisa menutup mata, bahwa ketertarikan para murid atau masyarakat umum, belum begitu tinggi pada museum. Titik ini semestinya menjadi titik evaluasi untuk memeriksa, apa penyebab dari kondisi tersebut. Menurut Statuta International Council of Museums, museum adalah sebuah lembaga nirlaba, yang bersifat tetap untuk melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, agar dapat memperoleh, merawat, meneliti, mengkomunikasikan serta memamerkan aset-aset berharga yang merupakan warisan bagi kemanusiaan dan lingkungan, untuk tujuan pendidikan, pembelajaran dan rekreasi (kesenangan). Melalui definisi tersebut, kita telah mendapat gambaran lengkap mengenai posisi museum sebagai medan  vital bagi kemanusiaan. 


Harus diakui bila fungsi pendidikan dan pembelajaran sudah dapat dicapai oleh museum. Museum jelas berada di garda depan, selayaknya institusi pendidikan. Namun, apakah fungsi rekreasi atau kesenangan sudah dapat dicapai? Saya kira belum. Itulah alasan mengapa jumlah pengunjung museum tidak jua meningkat secara signifikan di setiap tahunnya. Ya, walau sebenarnya kuantitas pengunjung, tidak dapat menjamin kualitas dari pembelajaran yang didapatkannya. Akan tetapi dengan menjaring lebih banyak pengunjung, maka kesempatan museum dalam memfungsikan dirinya sebagai bagian dari pendidikan akan terbuka lebih luas. 


Ada banyak kerja penataan yang mesti dilakukan oleh pengelola museum, misalnya saja di bidang penyajian,  display ruang pamer yang artistik dan ditunjang media informasi berteknologi canggih, diharapkan dapat membuat pengunjung lebih asyik mempelajari berbagal hal yang berkaitan dengan benda pamer. Atau dengan setting benda pamer yang menarik, dengan tata cahaya yang tidak biasa, akan mampu memanjakan pengunjung secara visual. Pengelola tidak perlu mengubah museum selayaknya taman bermain, untuk menarik minat banyak orang. Namun akan lebih baik bila fasilitas museum dibuat jauh lebih nyaman lagi, dan dengan tetap mempertahankan karakter khas dari museum itu sendiri.


Selanjutnya di bidang pelayanan, terutama pada akses informasi. Tidak dipungkiri, melalui pelayanan informasilah kita dapat mengetahui sejarah dan seluk beluk lainnya mengenai benda pamer.  Informasi lapis pertama adalah informasi yang dipublikasikan melalui laman yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas, misalnya saja website dan media sosial (twitter, facebook, dan youtube). Sedangkan informasi lapis kedua adalah informasi yang diberikan langsung di dalam ruang pameran, baik oleh pemandu, atau oleh media informasi yang telah disediakan. Harapannya adalah agar mekanisme pewarisan sejarah pengetahuan dapat dicapai secara optimal.


Yang terakhir di bidang jaringan, sangat perlu kiranya memelihara jaringan lokal, nasional dan internasional untuk pengembangan standar museum, sehingga sumbangsih museum pada masyarakat dapat diberikan secara maksimal. Ada forum komunikasi yang terpelihara secara berkelanjutan dan baik antar museum, institusi dan komunitas pencinta museum. Pentingnya menggandeng komunitas pencinta museum adalah karena minat mereka lah, nadi museum dapat didenyutkan kembali dengan lebih cepat. Melalui perpanjangan tangan mereka, jumlah peminat museum dapat terus ditingkatkan. Mereka  semacam agen yang dapat menyebarkan virus cinta museum pada banyak orang. Mungkin salah satunya adalah saya. Ya, saya mengakui bahwa saya memiliki kecintaan yang tinggi pada museum. Selalu ada hal baru yang mengejutkan sekaligus menyenangkan saat berkunjung ke museum. Selayaknya pasar yang ekletik, saya seperti sedang berbelanja hal-hal yang tak terduga. Di sana saya mengkonsumsi sesuatu, yaitu pengetahuan.  Itulah alasan mengapa saya mencintai museum. Ya…Museum, aku cinta padamu.

Kamis, 11 September 2014

Buruh di Cina, Apa Kabarmu?




Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya (tulisan yang dibuat sekitar 2 tahun yang lalu), yang menghadirkan Cina sebagai fokus utama. Pada tulisan sebelumnya, ada banyak pertanyaan mengenai keadaan buruh di Cina, terutama pertanyaan mengenai adanya kemungkinan terjadinya eksploitasi yang jauh lebih tinggi, yang dialami oleh buruh di Cina, di bandingkan negara-negera berkembang lainnya. Mempertanyakan hal tersebut rasanya sangat wajar, apalagi setelah melihat Cina sebagai salah satu negara berkembang, telah mampu membuktikan pada dunia (dan bahkan Bank Dunia), bahwa perekonomian di negaranya mampu bangkit dan maju. Bahkan lebih maju dari negara berkembang lainnya. Namun apakah memang kemajuan Cina di ranah pertumbuhan ekonomi, berbanding lurus dengan kondisi yang dialami oleh buruh-buruhnya?
Kerja lembur berlebihan tanpa hari libur dalam seminggu, tinggal berjejal dalam asrama yang penuh sesak, serta berdiri terlalu lama sehingga kaki bengkak dan nyaris tidak bisa berjalan setelah kerja shift selama 24 jam. Itulah kehidupan sejumlah buruh yang mengaku bahwa mereka berkerja di pusat-pusat pabrik Apple di China. http://internasional.kompas.com/read/2012/01/27/14135424/Derita.Buruh.China.yang.Memproduksi.iPad
Pada medio Januari 2012, berita mengenai keadaan buruh di perusahaan-perusahaan pemasok Apple di Cina menjadi topik hangat di beberapa media massa dan media elektronik nasional maupun internasional (seperti yang dikutip dari pemberitaan Kompas di atas). Siapakah yang tidak mengenal Apple? Sebuah merk gadget terkenal di dunia yang hadir tidak hanya dengan kecanggihan proram yang menjadi andalannya, akan tetapi juga dengan prestise yang mengiringinya. Banyak pihak yang tercengang dengan pemberitaan yang muncul seputaran kondisi para buruh yang diperkerjakan oleh perusahaan-perusahaan pemasok merk terkenal tersebut. Keadan buruh yang begitu direndahkan dan berdaya tawar lemah, seakan tidak lagi memiliki pilihan atas keadaannya. Bila melihat kondisi tersebut, akan muncul pertanyaan, bila benar selama ini Cina menganut ideologi komunisme, yang menjunjung tinggi suara buruh, sebagai elemen utama dalam gerakan politiknya, tapi mengapa negara tersebut malah mengabaikan kondisi buruh, yang semestinya menjadi prioritas utamanya?
Kondisi buruh sebelum Cina membuka diri pada kehadiran sistem ekonomi pasar sangatlah berbeda dengan gambaran yang sempat dibahas di atas.  Hapir 30 tahun lamanya Cina hidup dengan sistem komunis, yang menaruh buruh pada posisi penting dalam gerakan politik dan ekonominya.  Para buruh hidup ‘aman’ di dalam iklim negara yang sangat berorientasi pada kesejahteraan buruh. Buruh adalah kekuatan terbesar yang menjadi penopang ideologi yang dianut negara tersebut. ‘sistem mangkuk besi’ adalah penggambaran yang paling tepat untuk melihat sistem penyediaan kenyamanan sosial bagi kehidupan buruh Cina pada kala itu. sistem kenyamanan itu berupa jaminan sosial untuk segala kebutuhan hidup buruh, jaminan A sampai Z, semua disediakan dan diberikan oleh negara kepada buruh. Perusahaan-perusahan negara adalah pemegang produksi terbesar, dan juga termasuk penyerap tenaga kerja terbesar di masa tersebut.
Namun keadaan itu kemudian menjadi berbanding terbalik, di kala masa pemerintahan Den Xiaoping (1904-1997), yang terkenal dengan kebijakan ‘reformasi dan membuka diri’. Keterpurukan Cina di masa sebelum Xiaoping, terutama keterpurukan ekonomi dan budaya, mengantarkan negara tersebut pada kondisi yang memaksanya untuk membuka diri pada dunia luar. Termasuk juga pada sistem ekonomi yang berlaku secara global. Kebangkrutan perusahaan-perusahaan negara, menuntut adanya reformasi di bidang tersebut. Termasuk langkah-langkah seperti pemutusan hubungan  kerja dengan buruh secara besar-besaran mulai melanda di hampir seluruh wilayah Cina. Langkah lainnya untuk mengatasi keadaan itu adalah dengan melakukan privatisasi  perusahaan-perusahaan negara, yang dengan jelas mengalihkan kepemilikan perusahaan ke tangan swasta.
Keterkejutan dan kekhawatiran muncul secara masif, mendorong banyak buruh melakukan protes terhadap kebijakan semacam itu. Namun buruh sudah mulai terpinggirkan posisinya. Kemiskinan dan kebutuhan untuk menyetabilkan kondisi perekonomia, telah memaksa Cina untuk tidak lagi menempatkan buruh secara istimewa. Nasib buruh tidak lagi dimanjakan oleh negara, akan tetapi diserahkan kepada tangan-tangan para pemilik perusahaan (swasta), yang memiliki kecenderungan terus meningkatkan keuntungan perusahaan, dan meminimalisir pengeluaran beserta kelonggaran-kelonggarannya, terutama yang berhubungan dengan jaminan kesejahteraan buruhnya (baik waktu kerja ataupun jaminan lainnya).
Nasib buruh semakin tidak pasti. Serikat buruh yang semula berada di bawah Partai Komunis Cina, beralih ke tangan para manager atau pengelola perusahaan. Sangat jelas bahwa kepentingan buruh tidak lagi dapat dibela oleh kekuatan yang dapat menjaga mereka. Kekuatan yang melindungi dari potensi eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh para pemilik atau pengelola perusahaan swasta. Keyakinan para buruh digoyahkan dengan hegemoni yang semakin menyudutkan posisi mereka selaku orang yang dipekerjakan, dan berada pada posisi di bawah para pengelola dan para pemilik perusahaan swasta.
Hegemoni pasar benar-benar telah merasuki baik buruh yang masih bekerja maupun mereka yang menjadi calon buruh. Buruh dan buruh bersaing satu sama lain untuk memperebutkan kesempatan kerja. Kalau toh mereka mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan, mereka cenderung untuk menyalahkan diri sendiri, bukan perusahaan, bukan pula negara. Dengan demikian, buruh di Cina saat ini tidak memperlihatkan semangat solidaritas kelas yang tinggi untuk mengubah struktur hubungan kerja yang tidak adil. (Wibowo, 2004: 201-202)
Mencermati kondisi buruh tersebut, muncul pertanyaan, lantas kemana semangat komunis dari negara Cina? Mengapa dalam sebuah negara yang menjadikan komunisme sebagai pegangannya, malah menghadirkan kapitalisme sebagai paham yang diterapkan dalam sistem ekonominya? Untuk siapa Cina membangun orientasi ekonominya? Untuk kestabilan ekonomi? Untuk upaya pembuktian pada institusi-intitusi global? Atau untuk rakyatnya yang sebagian besar adalah buruh, yang mulai terabaikan kesejahteraannya? Sungguhpun kesuksesan Cina dalam penguasaan produknya di pasar global, tidak benar-benar dapat diimbangi dengan upaya yang sama, untuk memberikan kesejahteraan para kaum buruhnya. Kontradiksi tersebut hadir sebagai suatu bentuk keterpaksaan dalam menghadapi globalisasi.

Minggu, 30 Desember 2012

Samin Melawan (Pabrik) Semen



“Tetap menolak terus. Kami pun berharap, mulai dari pemerintah dan pihak yang berkepentingan terhadap pabrik semen, harus lebih tahu bahwa di sini penolakan mulai meluas dan mulai serius."

         Petikan komentar yang tertulis di atas merupakan pernyataan dari Gunretno,  salah seorang tokoh masyarakat adat Samin di Pati, Jawa Tengah. Pernyataan tersebut dikeluarkan, berkaitan dengan sikap  penolakan masyarakat Samin terhadap rencana proyek pembangunan pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng, pada medio tahun 2008.

           Masyarakat Samin, atau yang sering juga disebut sebagai Sedulur Sikep, merupakan kelompok masyarakat yang menganut ajaran Saminisme, ajaran yang muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap praktek kolonialisasi yang diterapkan Belanda.  Ajaran samin pertama kali diperkenalkan oleh Raden Surowijoyo yang lahir di Ploso Kediren, pada tahun 1859. Ajaran Samin tersebar di beberapa daerah, antara lain di Tapelan di wilayah Bojonegoro, Nginggil dan Klopoduwur di wilayah Blora, Kutuk  di wilayah Kudus, Gunung Segara di wilayah Brebes, Kandangan di wilayah Pati, dan Tlaga Anyar di wilayah Lamongan.

             Apabila di India kita mengenal Mahatma Gandhi yang terkenal dengan ajaran Satyagrahanya, ajaran yang menginisiasi gerakan untuk melawan praktek penjajahan Inggris, dengan cara melawan monopoli garam oleh rakyat sipil. Maka di Indonesia, kita mengenal gerakan masyarakat Samin.  Ajaran ini pada mulanya merupakan sebuah reaksi keras terhadap keadaan yang menghimpit rakyat pada masa penjajahan Belanda. Pemerintahan kolonial pada masa itu mewajibkan seluruh rakyat untuk membayar pajak dan melakukan kerja paksa. Apabila menolak, mereka akan ditangkap dan disiksa. Tanah pertanian rakyat pribumi juga dirampas dan ditanami pohon jati, demi kepentingan pemerintah kolonial.

       Gerakan melakukan perlawanannya dengan jalan nirkekerasan, namun mampu memberikan efek yang mengejutkan, sekaligus menggelisahkan bagi pemerintahan kolonial Belanda di waktu itu. Kata Samin sendiri diambil dari filosofi kalimat “sami-sami amin” yang artinya rakyat sama-sama setuju, terutama ketika raden Surowijoyo melakukan langkah yang berani untuk membantu masyarakat miskin dengan caranya sendiri. Raden Surowijoyo, atau yang kerap dipanggil sebagai Ki Samin Soerosentiko mengajak para pengikutnya untuk menolak membayar pajak dan menolak untuk mengerjakan segala perintah dari para penjajah (heeren-diensten).  Bentuk perlawanan lain yang dilakukan oleh Ki Samin dan para pengikutnya adalah dengan menebangi pohon jati (yang ditanam dalam program tanam paksa Belanda), tanpa ijin dan mengambil untuk keperluan mereka sendiri. Sehingga keberadaan masyarakat Samin sangat jelas dianggap berbahaya oleh pemerintahan kolonial Belanda.

       Keberadaan masyarakat Samin pada masa kini, memang tidak sejaya dahulu, baik dari kategori jumlah maupun kekentalan ajarannya. Kemerosotan jumlah pengikut ajaran Saminisme ini terjadi seiring dengan semakin terbukanya masyarakat tersebut terhadap nilai-nilai modern, yang merangsek masuk dan melunturkan sendi-sendi nilai yang dianut sebelumnya. Akan tetapi di tengah gempuran modernitas yang masuk, masih ada beberapa komunitas masyarakat Samin yang tetap memelihara kepercayaan mereka, walau dengan sikap yang kompromis terhadap modernitas, sebagai bentuk jawaban atas tantangan jaman yang terus berkembang.

              Mereka masih menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, serta penghargaan terhadap manusia dan alam. Berdasarkan nilai-nilai tersebutlah, masyarakat Samin menentukan sikap penolakannya terhadap pendirian pabrik semen di wilayahnya. PT Semen Gresik, yang sahamnya sekitar 40% dikuasai oleh pihak asing, pada  sekitar pertengahan 2008 berencana untuk menanamkan modalnya melalui pendirian pabrik di Pati Jawa Tengah, tepatnya di wilayah pegunungan Kendeng.  Wilayah Kendeng yang merupakan wilayah pegunungan karst,  merupakan sumber potensial bagi pabrik semen. Rencana ekspansi ini didorong oleh pemenuhan kebutuhan semen di pasar nasional maupun internasional. Semen Gresik merupakan salah satu pemain penting dalam industri semen di wilayah Asia, Australia, Eropa, Afrika dan Eropa. Rencana pendirian tersebut sudah mendapatkan lampu hijau dari pemerintah setempat, karena bagaimanapun juga, pabrik tersebut akan memberikan peluang bagi peningkatan PAD (Pendapat Asli Daerah).

         Namun belajar dari beberapa pengalaman, di beberapa wilayah, dampak yang menjurus pada kerusakan ekologis, telah mematikan banyak sumber kehidupan dan penghidupan manusia serta mahluk hidup lainnya yang berada di wilayah pegunungan karst tersebut, seperti  kerusakan fungsi hidrologi (penyedia sumber air) dan penurunan tingkat kesuburan tanah. Selain itu, mata pencaharian  sebagian besar masyarakat di wilayah tersebut ada di sektor pertanian. Apabila tingkat kesuburan tanah menurun, maka akan mengakibatkan menurunkan tingkat pendapatan mereka. Hal lain yang dapat dilihat sebagai dampak dari pendirian pabrik tersebut adalah bila wilayah yang tadinya digarap sebagai lahan pertanian beralih menjadi tempat yang akan dijadikan untuk memproduksi semen, maka akan ada banyak orang yang akan kehilangan pekerjaan mereka. Pihak perusahaan memang menjanjikan bahwa akan terbuka kesempatan kerja baru bagi masyarakat di Pati Selatan. Namun janji tersebut harus dicermati sekali lagi, karena kerugian yang akan dihasilkan saat pabrik tersebut beroperasi, akan jauh lebih besar.

Argumen tentang terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal ketika pabrik semen berdiri adalah omong kososng alias bohong. Keberadaan pabrik semen di Kabupaten Pati justru akan menambah pengangguran. PT. Semen Gresik; pabrik semen yang akan membangun pabrik di Kabupaten Pati mengaku hanya membutuhkan 500 orang tenaga kerja untuk produksi. Itu pun tidak sembarang orang. Mereka yang akan diterima menjadi karyawan harus memiliki keahlian khusus dan memiliki ijazah minimal tingkat SMA. Sedangkan lahan pertanian dan perkebunan yang akan dialihfungsikan sebagai lokasi penambangan, jalan, infrastruktur dan pabrik selama ini dikelola oleh lebih dari 2500 keluarga petani. Jika dalam masing-masing keluarga petani terdapat 4 jiwa, maka ada sekitar 10.000 orang yang akan terancam kehidupannya karena sumber pendapatan keluarga dirampas oleh pabrik semen. (http://www.desantara.org/01-2009/149/aksi-massa-tolak-pabrik-semen-di-pati-terus-berlanjut)

            Gerakan penolakan tersebut memakan waktu yang sangat lama dan proses yang sangat panjang. Teror dan intimidasi adalah sebagian resiko yang harus dihadapi. Hingga pada tahap selanjutnya, gerakan penolakan tersebut masuk dalam agenda pembicaraan di Komisi VII DPR. Wakil Ketua Komisi VII DPR, Sonny Keraf mengadakan dialog dengan Komunitas Samin dan perwakilan dari tujuh desa (Desa Kedumulyo, Gadudero, Sukolilo, Baturejo, Sumbersoko, dan Tompe Gunung). Pertemuan tersebut menghasilkan rekomendasi yang ditujukan pada Menteri ESDM serta Menteri Negara Lingkungan Hidup, agar keduanya dapat menurunkan tim ke wilayah calon tempatan. Setelah semua proses perjuangan yang panjang, pada tanggal 26 Juli 2009, Bibit Waluyo yang menduduki jabatan selaku Gubernur Jawa Tengah, memutuskan membatalkan rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik di Sukolilo, Pati. Sebuah contoh keberhasilan dari gerakan perlawan yang dilakukan oleh masyarakat, untuk melawan kepentingan korporasi dan pemerintah.

            Akan tetapi keberhasilan itu harus mendapatkan ujian lagi, karena pada awal tahun 2012 ini, warga Pati harus berhadapan kembali dengan pihak korporasi yang mengincar potensi wilayah mereka. PT Sahabat Mulia Sakti (SMS)  merupakan anak perusahaan PT Indocement Tunggal Perkasa (ITP), perusahaan ini berencana mendirikan pabriknya  di Kecamatan Tambakromo dan Kayen. Pihak perusahaan tersebut sedang dalam proses menunggu hasil Amdal, dan sedanag melakukan langkah-langkah pendekatan pada pihak-pihak yang kontra terhadap pendirian pabriknya. Namun sebagian masyarakat masih memiliki sikap yang sama, yaitu menolak dan melawan.

            Gerakan penolakan pendirian pabrik semen tersebut memang tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Samin semata, akan tetapi juga oleh masyarakat non Samin, LSM dan berbagai pihak yang memiliki visi yang sama. Namun keberadaan masyarakat Samin dengan nilai-nilai yang diperjuangkannyalah yang mendorong perlawan itu dilakukan.  Gerakan ini memang tidak banyak diketahui oleh publik, selayaknya sebuah gerakan yang melawan praktek kerja-kerja globalisasi. Misalnya saja gerakan di Battle for Seattle di Amerika Serikat. Semangat “sakdumuk bathuk saknyari bumi” yang berarti “membela negeri sampai titik darah penghabisan”, merupakan gambaran semangat masyarakat Samin untuk melawan kepentingan-kepentingan yang dibawa oleh korporasi dan (juga) pemerintah, baik pusat maupun daerah.


sumber referensi:

http://www.desantara.org/01-2009/149/aksi-massa-tolak-pabrik-semen-di-pati-terus-berlanjut/

http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin#Sikap_Orang_Samin

http://politik.kompasiana.com/2012/01/31/antara-keuntungan-dan-kutukan-%E2%80%9Cpabrik-semen%E2%80%9D-di-pati

http://saminist.wordpress.com

http://www.semengresik.com/ina/ProductPemasaran.aspx

http://triligayanti.blogspot.com/2010/11/kearifan-lokal-suku-samin-di-kabupaten.html


Kamis, 08 November 2012

Globalisasi Bermuka Dua: Dampak Ekonomi di Cina


Membicarakan kebijakan politik di  sebuah negara, maka tidak akan meninggalkan pokok bahasan mengenai agenda ekonomi yang menyertainya.  Ada skema besar yang selalu melibat kedua hal tersebut.  termasuk juga skema besar globalisasi. Keterhubungan antar negara tersebut, yang pada awalnya lebih pada mekanisme penghapusan batas-batas wilayah, khususnya di bidang ekonomi, yang didalamnya mencakup perdagangan, investasi dan industri, membawa kepentingan-kepentingan serta imbas yang tak dapat dihindari. Seperti pembahasan-pembahasan sebelumnya, keberadaan globalisasi tidak akan dapat dinafikan oleh negara-negara yang menjalaninya.  
Namun menghadirkan pembicaraan mengenai  gambaran sosok jahat globalisasi, sepertinya sudah terlalu sering dan sangat membosankan. Memang ada banyak pihak yang selalu hadir dengan kecurigaan atau kewaspadaan yang luar biasa, terhadap dampak buruk yang dihadirkan oleh globalisasi. Namun kecurigaan  atau kewaspadaan itu tidak diiringi dengan upaya-upaya yang nyata untuk keberadaan globalisasi. Maka dari itu, ada baiknya kita juga dapat melihat sisi lain dari globalisasi, yang selama ini sering menjadi momok yang ditakuti.  
Selama ini globalisasi, terutama yang ditempeli kepentingan dari negara-negara maju,  selalu dipersalahkan sebagai agen yang berperan penting dalam proses ekskalasi ‘pemiskinan’  negara-negara dunia ketiga. Namun sesungguhnya, negara berkembang tidak selalu harus diposisikan sebagai korban yang tak berdaya, terhadap intrik ekonomi dan politik kepentingan dari negara maju. Kondisi tersebut secara nyata dapat dibuktikan oleh kemajuan yang diperlihatkan oleh negara Cina dalam tiga dekade belakangan ini. Pertumbuhan ekonomi Cina yang mencapai 7-8% setiap tahunnya, mengesankan adanya upaya penghapusan sebutan negara miskin yang dulu cukup lama di sandangnya.
Cina pada masa Den Xiaoping (1904-1997) mengaami kemajuan yang sangat signifikan dalam bidang ekonomi. Den Xiaoping  yang merupakan generasi kedua setelah Mao Zedong dalam memimpin Partai Komunis di  Cina, ia mengusung semangat dan kebijakan  ‘reformasi dan membuka diri’. Semangat dan kebijakan tersebut  merupakan  ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan sikap Cina pada terhadap  gerakan  globalisasi. Semenjak itu Cina mulai memasuki ranah baru yang membuka kesempatan untuk masuknya berbagai bentuk investasi dari perusahaan asing.  Strategi Cina dalam mengelola keberadaan globalisasi sesungguhnya cukup cerdik. Cina mengajukan tawaran yang cukup menggiurkan terhadap para investor asing. Tawaran itu berupa kebijakan mengenai  kemudahan dalam proses investasi, keberadaan sasaran pasar (jumlah konsumen) yang cukup besar, dan ketersediaannya buruh dengan bayaran yang cukup murah. Cina bahkan memiliki jumlah buruh yang cukup tinggi, yang diakibatkan adanya gerakan migrasi tenaga kerja dari desa-desa ke kota-kota industri di Cina.
Selain tawaran-tawaran yang mengiurkan di atas, sesungguhnya Cina telah siap dengan strategi lain, yaitu persayaratan yang diajukan pada para investor asing.  Para investor tesebut diperbolehkan untuk berinvestasi di Cina, asalkan mereka mau melakukan alih teknologinya di Cina. Mekanisme alih teknologi ini pernah dilakukan oleh General Motor.  Dimana keahlian-keahlian teknologi yang dimiliki oleh General Motor, harus ditrasfer atau ditularkan dengan sengaja kepada tenaga-tenaga kerja asli Cina. Keahlian semacam inilah yang kemudian dapat mengantarkan Cina pada keberhasilannya membuat produk yang hampir sama (tiruan) dengan produk yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan asing yang ada (atau yang pernah ada) di Cina. Cina berhasil menembus pasar dunia dengan produk-produk berharga murah. Jauh lebih murah daripada produk yang ditirunya. Sering muncul pertanyaan mengenai ‘kualitas dari proses pembuatan produk Cina’, namun pertanyaan itu akan terjawab dengan pertanyaan lain, bukankah tenaga kerja Cina pulalah yang membuat berbagai produk dengan label yang asli? Sehingga dengan kemampuan tenaga kerja yang samalah produk itu dihasilkan. Mungkin pertanyaan yang lebih tepat yang seharusnya diajukan adalah mengenai: seberapa baikkah kualitas bahan mentah yang dijadikan material dasar sebuah produk yang di hasilkan di Cina?
Mencermati hal tersebut, Cina dapat berbangga hati, karena di tengah terjangan arus globalisasi yang mengantarkan banyak negara berkembang lainnya ke pinggir jurang kemiskinan, Cina malah mampu bertahan, bergerak maju dan terus berkembang.  Bahkan Bank Dunia pada laporannya atas Cina di tahun 1997, telah memasukan negara tersebut pada posisi negara penerima utama pinjaman dari institusi tersebut (Improved Creditworthiness). Akan tetapi, memang ada hal lain yang harus diwaspadai oleh Cina, sebagai sebuah negara yang menyambut dengan gegap gempita kedatangan gerakan globalisasi. Kewaspadaan itu berupa adanya kemungkinan terjadinya persaingan di pasar tenaga kerja dalam negerinya. Persaingan antara tenaga kerja lokal dan tenaga kerja asing, menghadapkan Cina pada upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja lokalnya, agar penyerapan tenaga kerja dapat maksimal dan tidak menimbulkan pengangguran masif di masa depan. Masih mengenai tenaga kerja, tekanan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan berkuantitas tinggi, berarti terbuka pula peluang terjadinya tekanan yang berat bagi para pekerja yang terlibat di dalamnya. Selain itu, iming-iming tenaga kerja berupah rendah harus dipertanyakan kelanjutannya, apakah Cina akan selalu memberikan kesempatan para investor asing untuk memanfaat kan tenaga kerja lokal dengan nilai kemanfaatan yang tinggi namun memberikan reward yang begitu rendah pada tenaga kerja lokal Cina? Lantas bagaimana kondisi keberadaan tenaga kerja di Cina secara keseluruhan? Melihat kondisi yang dihadapi oleh Cina,  kita tidak selalu menghadirkan dualisme. Begitupun seperti yang terjadi di Cina, yang secara jelas mampu menggunakan globalisasi untuk mengangkat negaranya pada tingkatan yang hampir menyamai laju perekonomian negara-negara maju, tetapi juga mengantarkan Cina pada kondisi yang buruk pada tenaga kerja lokal mereka. 
 

Semua tentang Vini Biroe Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting