Jumat, 01 April 2011

Identifikasi Diri Remaja dalam Peristiwa Tawuran

        Pembicaraan tentang tawuran diusung pada tulisan kali ini. Mengapa tawuran? karena tawuran merupakan hal yang tidak lagi asing bagi kita, dan sangat lekat dengan bentuk-bentuk konflik yang terjadi di masyarakat kita. Peristiwa tersebut sangat kental terdengar di telinga kita, terlihat di depan mata kita, bahkan acapkali melibatkan kita sebagai korban maupun pelakunya.

      Tawuran merupakan peristiwa perkelahian atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap kelompok yang lain. Tawuran adalah bentuk kekerasan kolektif yang dilakukan dengan sengaja baik dilakukan dengan, maupun tanpa rencana sebelumnya. Bentuk kekerasan kolektif ini membawa akibat yang luas, tidak hanya bagi para pelaku dan korbannya, akan tetapi juga seringkali memberikan dampak yang merugikan bagi orang-orang yang tidak terlibat langsung di dalam peristiwa tersebut.
    Dari beberapa wawancara yang dilakukan terhadap remaja yang berusia 13- 18 tahun, perbandingan yang didapatkan, dari 15 remaja lelaki yang diwawancarai, terdapat 7 remaja yang pernah terlibat di dalam tawuran. Baik tawuran antar sekolah, kampung maupun antar supporter sepak bola. Ada banyak faktor yang menyebabkan mereka terlibat dalam tawuran, namun ada dua faktor yang mampu mewakili penyebab dari keseluruhan alasan dari tawuran remaja, antara lain:
1. Emosi. 
2. Kesetiaan dan identifikasi diri pada kelompok. 
     Faktor emosi adalah alasan yang diajukan oleh para remaja sebagai penyebab keterlibatan mereka dalam tawuran. Penyebab tawuran sebenarnya tidak selalu diawali dari sesuatu yang serius, namun hal yang yang tidak serius sekalipun dapat memicu agresifitas remaja, sekaligus sebagai pemantik potensial terjadinya kekerasan. Remaja memiliki kecenderungan untuk menjawab sebuah masalah dengan jalan kekerasan, baik kekerasan yang dilakukan sendiri maupun dalam kelompok (komunal). Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kegagalan remaja dalam memecahkan masalah melalui komunikasi verbal. Komunikasi non verbal yang diungkapkan melalui perlawanan fisik adalah bentuk sikap mereka untuk menyelesaikan masalah.
     Sedangkan pada faktor kesetiaan dan identifikasi diri pada kelompok, remaja mulai mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari sebuah kelompok. Identifikasi diri ke dalam sebuah kelompok tertentu dapat menjadi sesuatu yang memberi nilai positif, namun dapat juga memberi nilai yang sebaliknya. Pada tahapan perkembangannya, remaja berada pada fase transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Fase tersebut menjelaskan bahwa remaja berada di antara posisi ketergantungan ( dependency ) dan ketidaktergantungan ( interdependency) . Pada fase tersebut, remaja masih mencoba membentuk diri dan mencari gambaran ideal kedewasaan yang akan ditujunya, atau kerap kita ketahui sebagai fase pencarian jati diri. Proses pencarian jati diri juga dialami oleh teman sebaya mereka. Oleh karena itu, dalam proses yang penuh dengan pertanyaan dan kebingungan, remaja cenderung mencari jawabannya dengan tindakan pengidolaan terhadap sesuatu atau pengidentifikasian diri terhadap kelompok-kelompok tertentu. Pembentukan identitas kelompok salah satunya bersumber dari identitas keanggotaan resmi di suatu tempat atau institusi. Contoh dari pembentukan identitas tersebut adalah keanggotaan di sekolah, kampung (warga sebuah kampung), partai politik maupun keanggotaan resmi lainnya.
     Selain bentuk indetifikasi diri pada keanggotan resmi di suatu tempat atau institusi, Identifikasi diri juga dapat bermula dari minat para remaja pada sesuatu. Identifikasi diri terhadap minat tertentu seringkali ditampakkan melalui penampilan anggota kelompok. Misalnya saja remaja yang mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian kelompok Punk. Gaya berpakaian, model rambut, maupun aksesories pendukung penampilan mereka, sangat mewakili perwajahan kelompok mereka. Begitu juga dengan kelompok remaja penyuka gaya dan musik hip hop, dengan pakaian dan celana longgar, topi, dan aksesories pendukung yang juga menunjukkan identitas mereka. Pada remaja yang menjadi supporter bola, juga terdapat pola-pola yang sama, dalam menyeragamkan diri mereka dengan sesama anggota kelompoknya. Hal serupa dapat kita lihat di kelompok remaja yang tergabung di dalam komunitas motor atau mobil. Mereka membuat kelompok sesuai dengan model atau merek tertentu dari kendaraan yang mereka miliki. 
     Hal-hal yang dicontohkan tadi lebih menggambarkan kecenderungan remaja yang menunjukkan identitas kelompok mereka melalui sesuatu yang dapat dilihat secara jelas, yaitu penampilan dan kegandrungan pada benda-benda yang menjadikan mereka sama dengan teman sesama anggota kelompoknya. Bila kita telusuri lebih jauh lagi, proses identifikasi diri melalui penampilan sebenarnya juga dimulai dari pengidolaan pada sosok-sosok yang menjadi ikon dari kelompok tertentu juga. Pengidolaan terhadap sosok tertentu tersebut dapat dikarenakan prestasi sosial, karya, pemikiran, kharima, penampilan fisik, ataupun hal lainnya yang dimunculkan secara pribadi dan dapat mempengaruhi, serta menimbulkan perasaan kagum terhadap sosok idola tersebut. Proses pengidolaan itu juga mendorong remaja untuk membuat kelompok tersendiri. 
     Nilai prestise, kesenangan dan kebanggaan yang terdapat pada sesuatu, adalah beberapa motivasi kuat yang mendorong remaja untuk menjadi anggota sebuah kelompok. Selain itu, banyaknya jumlah orang yang tergabung pada kelompok tertentu, adalah magnet tersendiri bagi remaja untuk menjadi bagian dari identitas kelompoknya. Kegandrungan remaja terhadap kelompoknya dapat menjurus pada fanatisme yang berlebihan. 
     Fanatisme yang berlebihan akan memunculkan sikap antipati terhadap sesuatu atau seseorang yang berbeda dengan diri dan kelompok remaja tersebut. Perbedaan, disikapi dengan negatif dan dianggap sebagai suatu ancaman yang dapat mengganggu atau membahayakan keberadaan kelompok mereka. Ketidaksukaan dan ketidaksetujuan terhadap perbedaan dilihat sebagai sebuah masalah. Masalah yang seharusnya dipecahkan dan dijawab dengan solusi, kemudian ditanggapi dengan fisik atau bahasa non verbal. seringkali, sebuah aksi kecil yang dilakukan oleh kelompok lain, dapat menjadi pemicu muncunyal sebuah reaksi besar yang mendorong kelompok-kelopmpok tersebut untuk melakukan kekerasan kolektif dalam bentuk tawuran.
      Kekerasan yang dilakukan secara personal sudah pasti mengakibatkan kerugian fisik, ataupun non fisik pada orang lain. Maka bila kekerasan dilakukan secara kolektif, akibat yang ditimbulkan olehnya juga akan mencapai skala yang lebih besar dan luas. Kekerasan kolektif terkadang tidak berhenti hanya pada satu peristiwa saja akan tetapi akan dilanjutkan dengan peristiwa-peristiwa yang sama, yang merupakan akibat dari dendam yang berkepanjangan dari kelompok-kelompok yang berkonflik tersebut. Dendam tersebut kemudian diwariskan pada generasi berikutnya di dalam kelompoknya. Warisan dendam kekerasan kolektif ini, merupakan rantai kekerasan yang sangat sulit diputus. Semakin sulitnya rantai kekerasan itu diputus, maka semakin panjang pula daftar kerugian dan ketakutan yang dialami oleh banyak orang. Dampak serius akan semakin berkembang apabila sikap-sikap yang memupuk terjadinya tawuran dibiarkan hidup dan mengakar dalam pemikiran dan sikap dari anggota kelompok-kelompok tersebut. 
      Pencegahan terjadinya sebuah peristiwa tawuran dapat dimulai dengan penerimaan atas adanya perbedaan. Perbedaan tidak disikapi secara negatif dan dianggap sebagai sesuatu yang dapat mengancam keberadaan atau keberlangsungan kegiatan suatu kelompok. Perbedaan harus diterima keberadaannya sebagai sebuah kewajaran, yang dapat memperkaya keberagaman minat dan pilihan dalam hidup. Selain itu, penghargaan pada sesuatu yang berbeda adalah bentuk kedewasaan, yang merupakan hasil dari proses pemikiran yang panjang dan matang dari seseorang ataupun sekelompok orang.
      Hal lain yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan terjadinya tawuran sebagai adalah dengan mekanisme dialog. Komunikasi verbal merupakan salah satu cara yang paling tepat dalam proses penyelesaian masalah atau konflik. Alasan dari hal tersebut adalah karena mekanisme dialog dapat menggali, memetakan dan mengemukakan hal-hal yang menjadi masalah diantara pihak yang berkonflik. Sehingga terjadi proses negosiasi yang menghasilkan jalan keluar dan saling menguntungkan, tanpa harus merugikan secara fisik maupun non fisik bagi kedua belah pihak.
     Selanjutnya, hal yang dapat mencegah terjadinya tawuran adalah penanaman pemikiran tentang konsekuensi atau akibat dari tawuran bagi diri sendiri, kelompok dan dampaknya bagi masyarat luas yang tidak terlibat langsung dalam tawuran. Akibat dan dampak dari setiap kekerasan pasti sangat membekas bagi pelaku dan korbannya, baik secara fisik dan nonfisik, pasca tawuran maupun di masa depan. Korban meninggal, korban cacat, luka berat, luka ringan, muncul trauma psikologis, kerugian sosial dan ekonomi, adalah beberapa contoh akibat dan dampak yang diakibatkan tawuran sebagai bentuk kekerasan kolektif. 
    Kita dapat belajar dari pengalaman yang terjadi sebelumnya, bahwa kerugian dan kesakitan yang hadir sebagai akibat dan dampak, tidaklah setimpal dengan apapun yang diperjuangkan dalam kekerasan dalam tawuran. Tidak ada kekerasan yang mampu mendatangkan kebanggaan dan kenyaman, maka tidak ada alasan apapun untuk membenarkan terjadinya suatu kekerasan, baik kekerasan yang dilakukan secara pribadi ataupun kolektif.
 

Semua tentang Vini Biroe Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting