Tampilkan postingan dengan label CoRat-CoReT (Menulis bebas). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CoRat-CoReT (Menulis bebas). Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 November 2012

Globalisasi Bermuka Dua: Dampak Ekonomi di Cina


Membicarakan kebijakan politik di  sebuah negara, maka tidak akan meninggalkan pokok bahasan mengenai agenda ekonomi yang menyertainya.  Ada skema besar yang selalu melibat kedua hal tersebut.  termasuk juga skema besar globalisasi. Keterhubungan antar negara tersebut, yang pada awalnya lebih pada mekanisme penghapusan batas-batas wilayah, khususnya di bidang ekonomi, yang didalamnya mencakup perdagangan, investasi dan industri, membawa kepentingan-kepentingan serta imbas yang tak dapat dihindari. Seperti pembahasan-pembahasan sebelumnya, keberadaan globalisasi tidak akan dapat dinafikan oleh negara-negara yang menjalaninya.  
Namun menghadirkan pembicaraan mengenai  gambaran sosok jahat globalisasi, sepertinya sudah terlalu sering dan sangat membosankan. Memang ada banyak pihak yang selalu hadir dengan kecurigaan atau kewaspadaan yang luar biasa, terhadap dampak buruk yang dihadirkan oleh globalisasi. Namun kecurigaan  atau kewaspadaan itu tidak diiringi dengan upaya-upaya yang nyata untuk keberadaan globalisasi. Maka dari itu, ada baiknya kita juga dapat melihat sisi lain dari globalisasi, yang selama ini sering menjadi momok yang ditakuti.  
Selama ini globalisasi, terutama yang ditempeli kepentingan dari negara-negara maju,  selalu dipersalahkan sebagai agen yang berperan penting dalam proses ekskalasi ‘pemiskinan’  negara-negara dunia ketiga. Namun sesungguhnya, negara berkembang tidak selalu harus diposisikan sebagai korban yang tak berdaya, terhadap intrik ekonomi dan politik kepentingan dari negara maju. Kondisi tersebut secara nyata dapat dibuktikan oleh kemajuan yang diperlihatkan oleh negara Cina dalam tiga dekade belakangan ini. Pertumbuhan ekonomi Cina yang mencapai 7-8% setiap tahunnya, mengesankan adanya upaya penghapusan sebutan negara miskin yang dulu cukup lama di sandangnya.
Cina pada masa Den Xiaoping (1904-1997) mengaami kemajuan yang sangat signifikan dalam bidang ekonomi. Den Xiaoping  yang merupakan generasi kedua setelah Mao Zedong dalam memimpin Partai Komunis di  Cina, ia mengusung semangat dan kebijakan  ‘reformasi dan membuka diri’. Semangat dan kebijakan tersebut  merupakan  ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan sikap Cina pada terhadap  gerakan  globalisasi. Semenjak itu Cina mulai memasuki ranah baru yang membuka kesempatan untuk masuknya berbagai bentuk investasi dari perusahaan asing.  Strategi Cina dalam mengelola keberadaan globalisasi sesungguhnya cukup cerdik. Cina mengajukan tawaran yang cukup menggiurkan terhadap para investor asing. Tawaran itu berupa kebijakan mengenai  kemudahan dalam proses investasi, keberadaan sasaran pasar (jumlah konsumen) yang cukup besar, dan ketersediaannya buruh dengan bayaran yang cukup murah. Cina bahkan memiliki jumlah buruh yang cukup tinggi, yang diakibatkan adanya gerakan migrasi tenaga kerja dari desa-desa ke kota-kota industri di Cina.
Selain tawaran-tawaran yang mengiurkan di atas, sesungguhnya Cina telah siap dengan strategi lain, yaitu persayaratan yang diajukan pada para investor asing.  Para investor tesebut diperbolehkan untuk berinvestasi di Cina, asalkan mereka mau melakukan alih teknologinya di Cina. Mekanisme alih teknologi ini pernah dilakukan oleh General Motor.  Dimana keahlian-keahlian teknologi yang dimiliki oleh General Motor, harus ditrasfer atau ditularkan dengan sengaja kepada tenaga-tenaga kerja asli Cina. Keahlian semacam inilah yang kemudian dapat mengantarkan Cina pada keberhasilannya membuat produk yang hampir sama (tiruan) dengan produk yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan asing yang ada (atau yang pernah ada) di Cina. Cina berhasil menembus pasar dunia dengan produk-produk berharga murah. Jauh lebih murah daripada produk yang ditirunya. Sering muncul pertanyaan mengenai ‘kualitas dari proses pembuatan produk Cina’, namun pertanyaan itu akan terjawab dengan pertanyaan lain, bukankah tenaga kerja Cina pulalah yang membuat berbagai produk dengan label yang asli? Sehingga dengan kemampuan tenaga kerja yang samalah produk itu dihasilkan. Mungkin pertanyaan yang lebih tepat yang seharusnya diajukan adalah mengenai: seberapa baikkah kualitas bahan mentah yang dijadikan material dasar sebuah produk yang di hasilkan di Cina?
Mencermati hal tersebut, Cina dapat berbangga hati, karena di tengah terjangan arus globalisasi yang mengantarkan banyak negara berkembang lainnya ke pinggir jurang kemiskinan, Cina malah mampu bertahan, bergerak maju dan terus berkembang.  Bahkan Bank Dunia pada laporannya atas Cina di tahun 1997, telah memasukan negara tersebut pada posisi negara penerima utama pinjaman dari institusi tersebut (Improved Creditworthiness). Akan tetapi, memang ada hal lain yang harus diwaspadai oleh Cina, sebagai sebuah negara yang menyambut dengan gegap gempita kedatangan gerakan globalisasi. Kewaspadaan itu berupa adanya kemungkinan terjadinya persaingan di pasar tenaga kerja dalam negerinya. Persaingan antara tenaga kerja lokal dan tenaga kerja asing, menghadapkan Cina pada upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja lokalnya, agar penyerapan tenaga kerja dapat maksimal dan tidak menimbulkan pengangguran masif di masa depan. Masih mengenai tenaga kerja, tekanan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan berkuantitas tinggi, berarti terbuka pula peluang terjadinya tekanan yang berat bagi para pekerja yang terlibat di dalamnya. Selain itu, iming-iming tenaga kerja berupah rendah harus dipertanyakan kelanjutannya, apakah Cina akan selalu memberikan kesempatan para investor asing untuk memanfaat kan tenaga kerja lokal dengan nilai kemanfaatan yang tinggi namun memberikan reward yang begitu rendah pada tenaga kerja lokal Cina? Lantas bagaimana kondisi keberadaan tenaga kerja di Cina secara keseluruhan? Melihat kondisi yang dihadapi oleh Cina,  kita tidak selalu menghadirkan dualisme. Begitupun seperti yang terjadi di Cina, yang secara jelas mampu menggunakan globalisasi untuk mengangkat negaranya pada tingkatan yang hampir menyamai laju perekonomian negara-negara maju, tetapi juga mengantarkan Cina pada kondisi yang buruk pada tenaga kerja lokal mereka. 

Rabu, 01 Agustus 2012

Photo dalam Ranah Denotasi dan Konotasi Semiotika


Bagi para penyuka photo, baik photo jurnalistik, photo estetik ataupun photo narsistik (ini yang sering dianut oleh kita-kita), sebuah produk photo akan selalu menghadirkan makna tersendiri. Baik makna tunggal maupun jamak. Bila sebuah produk photo kemudian kita tarik ke ranah pembicaraan semiotik, terutama seperti yang diutarakan oleh Roland Bartes, maka kita harus ‘menelanjanginya’ melalui tahapan denotasi dan konotasinya. Pada ranah denotasi, photo mentransmisikan  sebuah realitas yang terekam.  Ada Imaji fotografi atau analogon yang merupakan turunan atau  salinan dari realitas yang terjadi dari sebuah peristiwa yang tertangkap dari sebuah peristiwa. Analogon inilah yang diterima sebagai kekuatan photo tersebut.  Analogon yang hadir dari photo, adalah juga bentuk pesan yang disampaikan pada ranah denotasi. Sedangkan pesan pada ranah konotasi yang diungkapkan oleh photo tersebut akan didapatkan berdasarkan pada pandangan dan pembacaan dari orang/ masyarakat yang mencermatinyanya.
Ranah pemaknaan konotasi yang dihadirkan oleh photo, selalu dilihat dari latarbelakang historis dan kultural. Sehingga pada taraf pembacaan  atas segala sesuatu yang tampak, baik ekspresi, gestur, efek, sikap, dan hal lainnya yang ditampakkan dalam photo selalu bersifat relatif. Semua tergantung pada penilaian, kebiasaan serta pandangan dari masyarakat tertentu.
Photo tidak selalu hadir dengan nilai dan pemaknaan yang natural seperti halnya yang didapatkan dari pemaknaan denotatif. Akan tetapi akan selalu  mewakili tanda atau simbol yang mewakili kode-kode tertentu di dalam alur kesejarahan sebuah masyarakat.  Sehingga upaya dalam pencarian makna tersebut, harus terlebih dahulu diawali oleh mekanisme pengasingan dari semua makna denotatifnya, yaitu dengan cara menginventarisasi, dan menata semua elemen sosial budaya dan historis di dalam photo.
Namun pemaknaan konotatif tidak hanya berada pada tingkatan pembacaan secara keseluruhan salinan realitas yang diangkat di dalam photo. Akan tetapi juga dapat dilakukan dalam secara terbatas pada bagian-bagian tertentu dari analogon yang ditampilkannya.  Hal lain yang mungkin akan dihasilkan dalam ranah konotasi adalah pertanyaan-pertanyaan yang dilatarbelakangi permasalahan sosial, budaya dan sejarah si pembaca, atau penafsir.
            Nah dari penjelasan di atas, kita dapat menarik sebuah garis demarkasi yang jelas dalam penafsiran sebuah photo. Bisa saja, photo narsis yang selama ini kita buat, akan diartikan sebagai sebuah pengabadian kecantikan/ ketampanan bila ditafsirkan dalam ranah denotatif. Akan tetapi mungkin saja dapat diartikan sebagai sebuah pelecehan, bila dilihat dari ranah konotatif, terutama bila kita menggunakan simbol-simbol yang secara historis ataupun kultural, adalah sebuah simbol yang dianggap melanggar oleh sekelompok masyarakat yang lain. Selalu ada ranah konotasi yang berbeda, yang ditangkap oleh pandang yang berbeda pula. Jadi...selamat menafsirkan  ...

Sumber referensi :
Barthes, Roland (1977), “Image Music Text”, selected and translated by Stephen Heath, Fontana Press, London.

Rabu, 02 November 2011

Membaca (awal) Imagined Communities- Benedict Anderson



Benedict Anderson pada buku yang berjudul “Imagined Communities”, terutama pada awal-awal penulisan buku tersebut, banyak membahas sekaligus melakukan kritik praktek nasoinalisme yang umumnya tumbuh pasca perang dunia II. Nasionalisme dilihat sebagai kegagalan ataupun anomali dari Marxisme. Nasionalisme cenderung dianggap sebagai nilai paling absah secara universal dalam kehidupan politik jaman ini. Namun, Anderson memiliki pendapat yang berbeda mengenai hal tersebut.
Saya akan mencoba mengemukakan argumen bahwa penciptaan artefak-artefak ini pada akhir abad ke-delapan belas merupakan penyulingan spontan atas ‘persilangan’ berbagai kekuatan historis; namun, sekali tercipta, artefak-artefak itu menjadi ‘modular’, dapat ditanamkan, dengan berbagai derajat kesadaran-diri, ke berbagai bentangan sosial yang luas, untuk melebur dan dileburkan dengan serangkaian tata politis dan ideologis yang luas pula. (Anderson, 2002:6).
Pada tulisan diatas, Anderson mengumpamakan nasionalisme sebagai artefak-artefak budaya jenis khusus. Hal tersebut mungkin bertentangan dengan keadaan yang sekarang terjadi. Bagaimana mungkin mengkategorikan nasionalisme sebagai sebuah barang kuno yang tidak sesuai dengan konteks kekinian, padahal nasionalisme adalah hal yang masih saja hidup hingga dan dihidupkan oleh masyaakat di seluruh bangsa hingga saat ini.
Akan tetapi sepertinya kita harus melihat argumen yang mengantarkan Anderson pada pernyataannya tersebut. Ia berangkat dari pemahaman bahwa bangsa atau nation adalah komunitas politis yang dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Menurutnya lagi,  para anggota nation tersebut sebenarnya tidak saling mengenal satu dengan lainnya, bahkan tidak semua dari mereka pernah bertatap muka. Namun sebagai anggota sebuah bangsa, mereka hidup dalam sebuah kebersamaan yang terbayang.
Argumen Anderson mengenai hal tersebut dimulai dari fokus historis mengenai munculnya nasionalisme. Nasionalisme yang tumbuh dari komunitas religius tidaklah selalu berbasis kewilayahan, namun yang pasti berasal dari kepercayaan yang sama antar pemeluknya. Bahasa-bahasa keagaamaan yang sakral adalah kunci pemersatu keterbayangan atas kebersamaan mereka. Sebagai contohnya saja, ideogram Latin atau Arab dianggap sebagai pancaran realitas. Bahasa Latin yang digunakan pada misa Katolik, ataupun bahasa Arab yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah bahasa-bahasa agama yang kebenarannya di yakini betul oleh umatnya. Sehingga bahasa sakral in pulalh yang dapat menyatukan umat suatu agama, walaupun bahasa ibu mereke berbeda, namun mereka memiliki kebersamaan yang terbayang antara satu dengan lainnya sebagai satu kesatuan.
Selain itu, nasionalisme juga tumbuh melalui alasan di ranah dinastik. Pada sistem kekuasaan, bentuk ini didapatkan secara gaib, bukan dari rakyat. Pada sistem inilah diwariskan garis kebersamaan melalui persatuan populasi-populasi yang berbeda dalam perkawinan-perkawinan dinastik. Pernyatuan bangsa berdasar perkawinan para penguasa.
Pengejawantahan simbol-simbol kebersamaan di masa lalu ke dalam bentul visualisasi yang aural masa kini, adalah juga salah satu bentuk upaya penyatuan kebersamaan yang melintas batas waktu. Sehingga konsepsi-konsepsi mengenai asal muasal dunia dan keberadaan manusia akan adalah hal yang identik.
Dari semua alur historis yang ditarik oleh Anderson, nasionalisme tetaplah dibagun kebersamaannya yang imajiner melalui bahasa. Mekanisme bahasa inilah yang kemudian dapat mengintrepretasi setiap maksud individu mengenai kebersamaan kedalam pemahaman komunal.
Pemahaman komunal yang beranjak menjadi kesadaran nasional adalah juga karena efek kunci dari perkembangan percetakan. Percetakan mampu mengakomodir perluasan gagasan-gagasan mengenai kesadaran tersebut.kesadaran tersebut mengantarkan pada kemungkinan lahirnya komunitas terbayang yang baru. Tidak lagi hanya terbatas pada ranah lama, seperti yang dituliskan di atas, namun sudah dapat membentuk komunitas yang memilki semangat mengenai satu kesatuan yang lebih berani mengesampingkan sisi melankolinya. Memang pada ranah ini, akan terasa keterbatasan ‘kebersamaan’, namun konteks nasionalisme yang dibangun jauh lebih ‘nyata’ dan terasa kebenarannya karena dipergunakannya bahasa ibu dari bangsa-bangsa tersebut.
Anderson memang mencoba untuk sedikit mengkritisi bentuk komunitas terbayang yang menggunakan semangat nasionalisme. Ia tidak secara langsung menyebutkan bahwa nasionalisme sebagai bentuk ‘kekacauan’ dan berpemahaman kebangsaan, namun mencoba mengkritisi gerakan masal ini sebagai gerakan yang kadang hanya mencomot ideologi-ideologi yang berserak, dijadikan satu atau dikompilasi, namun tidak berkecenderungan secara jelas arahnya. Tapi yang pasti, nasionalisme yang bergaung di hampir seluruh pelosok dunia, menuntut penjelasan lebih lanjut. Karena nasionalime yang dibangun tersebut sering diyakini sebagai sebuah semangat mendasar sebuah bangsa , namun tidak dipahami secara sadar, belum menyeluruh dan terbayang.

Senin, 31 Oktober 2011

Borobudur yang melintas batas


Berbicara mengenai candi Borobudur, tidak akan menyekat kita untuk hanya berbicara di ranah pembicaraan mengenai situs yang identik dengan agama Budha saja. Akan tetapi akan mengantarkan kita pada pembicaan yang jauh lebih luas dari itu. Candi Borobudur memang telah lebih dari seratus tahun yang lalu menjadi tempat ziarah terbesar di dunia. Orang-orang datang dari seluruh penjuru dunia untuk mendapatkan wahyu, dan mencari nilai-nilai yang dapat mengantarkan mereka untuk mendekati kemuliaan spiritual dalam hidup.
Sebelum kita memulai perjalanan pembelajaran menuju candi Borobudor, kita akan mengarahkan langkah pertama pada candi Mendut terlebih dahulu. Candi Mendut merupakan awal perjalan ziarah menuju candi Borobudur. Pada candi Mendut, terdapat banyak relief yang memaparkan cerita-cerita binatang, yang sebenarnya menjelaskan kehidupan masyarakat pada umumnya. Binatang pertama yang diceritakan adalah tentang kura-kura yang dibawa terbang oleh dua ekor angsa. Kura-kura menggigit sebatang kayu yang dipengang oleh angsa-angsa tadi. Melihat hal tersebut, orang-orang memuji angsa-angsa yang pandai itu. Mendengar pujian yang ditujuakan pada angsa-angsa, kura-kura tidak terima dan kemudian berteriak, serta mengatakan bahwa dialah yang memiliki ide itu. Pada saat ia membuka mulutnya, maka jatuhlah si kura-kura. Si kura-kura kemudian mati.
Cerita kedua dalah mengenai si kera. Digambarkanlah si kera yang berlindung dari hujan dan diejek oleh burung manyar. Karena diejek,  kera kemudian marah dan merusak rumah burung manyar. Dalam penggambaran itu dimunculkan nilai bahwa lebih baik membantu daripada menjatuhkan pihak lain. Upaya menjatuhkan, akan selalu membuahkan kejatuhan juga.
Cerita selanjutnya dalah cerita tentang singa. Diperlihatkanlah sosok singa yang takut kepada kambing, karena kambing mengatakan suka memakan kambing. Kera menertawainya. Kera kemudian berniat untuk menemani singa dengan cara mengikatkan dirinya pada perut singa. Setelah itu mereka berdua berjalan mendekati kambing. Tapi singa masih takut pada kambing, sehingga singa kemudia berlari menjauh dengan kencang, sehingga kera terseret dan akhirnya mati. Pada penggambaran itu dimunculkan nilai bahwa walaupun bersahabat dengan yang kuat tidak akan selalu merupakan pilihan paling baik.
Cerita lainnya adalah cerita mengenai sekor kucing. Digambarkanlah kucing yang berpura-pura bertobat menjadi pendeta dengan membawa tasbih, sehingga tikus-tikus mau mendekat. Tapi kemudian ada satu tikus yang cerdas, dan mengatakan bahwa pendeta yang saleh tidak hanya membawa tasbih tapi juga membawa kelinting. Si kuncing kemudian menurut untuk membawa kelinting. Maka bila si kucing datang, maka bunyilah kelinting yang dibawanya, dan bersembunyilah para tikus menghindari si kucing. Nilai yang diajarkan melalui relief itu adalah apabila sebuah upaya menipu dilancarkan, akan menimbulkan tipuan lainnya yang memukul balik.
Cerita terakhir adalah cerita tentang seekor burung berkepala dua. Pada burung itu terlihat keadaan yang sangat berbeda, yaitu kepala atas memakan buah yang lezat,  kepala bawah hanya dapat sisa-sisanya.  Mengalami hal itu si kepala bawah protes, namun kepala atas mengatakan bahwa si kepala bawah tidak perlu memakan yang lezat, karena semua makanan itu akan masuk ke perut yang sama. Pada suatu hari si kepala bawah nekat memakan jamur beracun, dan mengakibatkan kematian burung tersebut dengan dua kepalanya sekalgus.
Hal-hal yang ditunjukkan melalui cerita binatang-binatang itu, sebenarnya menyadarkan kita sebagai manusia, bahwa kesombongan dan kerakusan merupakan hal yang tidak jauh dari sifat manusia.
Di dalam candi Mendut, kita akan menemukan patung sang Budha yang telah mengatasi segala kepincangan dan pertentangan masyarakat. Sikap tangan yang menunjukkan roda kehidupan yaitu sebab akibat dikuasasi sepenuhnya. Namun kita sebagai manusia masih jauhdari nilai semacam itu. Candi Mendut berada di dekat sungai dua sungai yaitu sungai Elo dan Progo. Bila melakukan perjalanan ke Borobudur, kita harus menyebrangi dua sungai tersebut dan singgah ke candi Pawon. Candi pawon,  tempat beristirahat dan mempersiapkan diri untuk pengalaman rohani yang mereka nanti-nantikan.
Bila pada masa kini, kita bisa dengan mudahnya memulai ziarah dari candi Mendut ke candi Borobudur dengan menggunakan mobil yang akan ditempuh hanya dalam beberapa menit. Namun pada masa lalu, jarak itu tidak dapat ditempuh dalam waktu yang singkat. Para peziarah harus menempuh jarak yang cukup jauh, serta harus turun dan menyebrangi sungai Elo dan Progo dengan berjalan kaki , di saat sungai surut. Namun dapat juga ditempuh dengan menggunakan perahu di saat sungai pasang.
Hal yang digambarkan di candi Mendut mengenai penggambaran burung dengan kepala atas dan kepala bawah adalah gambaran nyata masyarakat kita. Perbedaan-perbedaan dan jarak dari tiap status kelas selalu membuahkan permasalahan sosial yang tiada habisnya.
Beralih dari candi mendut, kita akan berbicara mengenai candi Borobudur. Candi Borobudur memiliki 1300 relief. Relief itu dapat dilihat dengan cara mengelilingi candi. Pada putaran pertama, relief yang berjumlah 120 itu bercerita tentang riwayat hidup calon Budha. Relief pertama menggambarkan  ratu Maya yang merupakan ibunda sang Budha yang sedang bermimpi. Mimpi itu memperlihatkan seekor gajah yang turuh dari kahyangan dan masuh ke dalam diri ratu maya. Kemudian ratu Maya mengandung. Ketika akan melahirkan, ratu Maya menempuh perjalan ke suatu tempat yaitu ke hutan Lumini untuk melahirkan anaknya yang kelak menjadi sang Budha. Kelahiran itu diiringi kejadian luar biasa, bayi itu lahir dan langsung bisa berjalan. Dalam tujuh langkah pertamanya, tumbuh tujuh bunga teratai. Calon Budha dipangku oleh bibinya, karena ratu maya meninggal sesaat setelah melahirkan. Ada juga penggambaran tiga dewa dalam relief itu menunjukan bahwa calon Budha sangat mulia.
Setelah dewasa, calon Budha kemudian dikawinkan dan dibuatkan tiga istana, tapi calon Budha tidak selamanya tinggal di istana. Calon Budha menemukan hal-hal yang merubahnya melalui empat pertemuan besarnya. Pertemuan besarnya adalah ketika dia bertemu dengan orang tua, orang sakit dan orang mati. Ketiga pertemuan itu adalah perwakilan dari ketakutan manusia pada keadaan-keadaan tadi. Namun pada saat ia bertemu seorang biarawan, calon Budha melihat bahwa biarawan itu telah terlepas dari ketakutan-ketakutan tadi. Maka semenjak itu calon Budha memutuskan untuk hidup seperti biarawan. Hal itu meresahkan ayahnya, yang kemudian mengambil langkah untuk mengurung calon Budha di istana, dan memberikannya banyak perempuan. Namun calon Budha muak dengan hal tersebut, dan diam-diam dia melarikan diri dari istana. Maka mulai saat itulah calon Budha memulai prosesnya untuk menjadi Budha dengan bertapa dibawah pohon bodi.
Penggambaran awal mengenai perjalanan calon Budha menjadi seorang Budha adalah penggambaran mengenai proses pilihan manusia untuk menjadi sosok yang mampu meninggalkan keduniawian , menuju sesuatu yang jauh lebih mulia. Relief-relief dan stupa-stupa yang berjumlah 72 dengan satu stupa induk itu, memberikan banyak penceritaan dan banyak pembelajaran pada kita sebagai manusia yang masih bergelut dengan nilai-nilai keduniawian untuk kepentingan pribadi. Kita sering kali lupa dengan nilai-nilai yang jauh lebih tinggi, yaitu nilai kemanusiaan. Sebuah nilai mulia yang memang sungguh berat untuk dilakukan. Borobudur, hadir tidak hanya dengan kemegahannya, namun dengan nilai spiritual dan kulturalnya. Kesejarahan yang mungkin saja berdarah-darah dilalui oleh rakyat pada masa kejayaan Syailendra, untuk membangun sebuah mahakarya, tidak hanya berhenti pada suatu masa, namun akan berlanjut hingga masa selanjutnya.  Pembelajaran yang melintas batas, baik batas waktu, kepercayaan, maupun kebudayaan. Semua dapat kita temui dalam proses ziarah yang tak berkesudahan di candi Borobudur yang luar biasa itu.




Sumber: Film Dokumenter "Belajar dari Bororbudur" produksi SAVPUSKAT Yogyakarta.

Kamis, 22 September 2011

Mengintip Sabung Ayam

sumber photo: http://jentytharian.blogspot.com

Tulisan ini merupakan sebuah langkah awal untuk mengenal salah satu praktek komunal, yang sejak dulu dan hingga kini masih langgeng dilakukan di berbagai daerah di Indonesia (bahkan dunia). Tulisan ini hanya akan mengetengahkan pemaparan mengenai sabung ayam di tingkat permukaan saja, dan belum pada taraf analisis mendalam dengan kaca mata bidang apapun. Pemaparan dibawah ini dibuat  berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang pelaku sabung ayam. 
Pada awal wawancara, responden dimintai keterangan mengenai alasannya mengikuti kegiatan sabung ayam. Beliau menjelaskan bahwa  dirinya (dan juga sebagian besar kawan-kawannya)  memulai keikutsertaannya dalam kegiatan ini, diawali dengan menonton keseruan yang terjadi di arena persabungan. Setelah itu, kemudian timbul keinginan untuk ikut dan mencobanya.
Ayam yang biasanya dijadikan ayam aduan adalah ayam bangkok berjenis kelamin jantan, dengan kriteria fisik: berbadan besar, tegap, berdada padat, serta kriteria fisik lainya yang menunjukkan kekuatan dari ayam tersebut. Harga satu ekor ayam sabungan biasanya mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah.
Perlakukan terhadap ayam sabungan juga sangat istimewa. Pada pagi hari ayam dimandikan, kemudian dijemur di bawah sinar matahari pagi sekitar satu hingga dua jam untuk menguatkan tulang dan tubuh ayam. Makanan dan minuman ayam sabungan juga tak kalah istimewa, setiap hari ayam tersebut rutin mengkonsumsi beras merah, madu, jahe, telur, gula jawa serta beberapa makanan atau minuman yang dapat meningkatkan stamina ayam sabungan.
Sangkar bagi ayam sabungan tidak dibuat dari bahan yang khusus (sama seperti sangkar ayam biasa), namun yang membedakannya adalah alas dari sangkar tersebut. Pada sangkar ayam non sabungan, para pemilik biasanya tidak memberi alas pada sangkar ayam-ayam mereka. Namun pada ayam sabungan, para pemilik biasanya harus memberikan alas khusus sehingga ayam sabungan mereka tidak akan meninjak tanah secara langsung. Maksunya agar saat diadu, ayam sabungan yang menginjak tanah (biasanya arena sabungan adalah area tanah yang lapang) akan selalu meloncat-loncat sebab merasa tidak jenak dan takut terhadap tanah yang diinjaknya.
Ayam sabungan juga harus dilatih kemampuannya dalam bertarung. Hal ini adalah point terpenting. Hampir sama dengan manusia, bila akan menghadapi pertarungan yang bersifat fisik, maka manusia tersebut juga harus melalui proses latihan fisik yang panjang agar menghasilkan kemampuan  yang bagus dalam menghadapi pertarungannya. Hal tersebut juga berlaku pada ayam sabungan, caranya adalah melatih fisik ayam, seperti dengan melatihnya berenang di kolam, mengepak-ngepakan sayap dll. Cara lainnya adalah dengan mencarikannya “lawan latihan”. Lawan latihan tersebut biasanya dari ayam jenis entul atau Jago Kampung. Ayam sabung dilatih dengan melawan ayam entul agar mental dan fisik ayam sabungan dapat semakin kuat. Ayam sabung tidak diberi taji atau pisau tajam yang dililitkan dikakinya , seperti halnya ayam sabung ayam di Bali. Namun senjata yang digunakan oleh ayam sabung tersebut berasal dari tubuhnya sendiri, yaitu jalu yang ditajamkan dengan menggunakan pisau, sehingga dapat melukai lawannya dengan mudah. Hal penting lain yang patut dicatat dalam proses pemeliharaan dan pelatihan terhadap ayam sabungan adalah dengan tidak memberikannya ayam betina. Karena apabila ayam sabungan (yang berjenis kelamin jantan) dipelihara bersama dengan ayam betina, maka akan dapat melemahkan si ayam sabungan.
Sabung ayam biasanya dilakukan di tempat-tempat yang jauh dari keramaian dan jauh dari pemukiman warga. Seringkali sabung ayam dilakukan di kebun-kebun yang sepi. Hal ini dilakukan agar tidak menarik perhatian banyak orang, karena kegiatan ini bersifat sangat rahasia. Tidak ada hari khusus untuk melakukan sabung ayam. Kegiatan ini dapat dilakukan setiap hari. Biasanya pada hari Senin- Jum’at diadakan 2 kali persabungan di beberapa arena (dalam satu wilayah). Sedangkan pada hari Sabtu- Minggu, dapat diadakan 4-5 kali persabungan.  Lamanya persabungan tergantung dari perjanjian antar pemilik ayam. Biasanya persabungan berlangsung minimal 3 kali banyon. Satu kali banyon biasanya selama 15 menit jadi total waktu persabungan minimal 45 menit.  Banyon yang dimaksud disini adalah masa jeda atau istirahat untuk ayam sabungan yaitu pada saat wajah dari ayam tersebut dibasahi dengan air.
Pada setiap persabungan selalu ada wasit yang akan memimpin dan menentukan pihak yang kalah atau menang. Wasit biasanya adalah pemilik area persabungan. Namun ada pula wasit yang ditentukan oleh para pemilik ayam yang akan disabung tersebut. Karena sabung ayam ini bersifat rahasia, maka penyabung maupun penontonnya tidak boleh sembarang orang. Komunitas ini sangat tertutup, mereka bergerak dengan sangat hati-hati dan selektif dalam memasukkan “orang baru”.  Kerahasiaan ini dikarenakan motif sabung ayam yang selalu identik dengan perjudian. Bagaimanapun juga, perjudian bukanlah hal yang legal di negara ini. Maka segala hal yang berbau perjudian biasa dilakukan dengan diam-diam. Walaupun diam-diam, hal tersebut tetaplah sebuah rahasia umum. Hampir banyak orang yang tahu mengenai praktek ini, namun mereka tidak menghiraukan dengan menutup mulut dan mata terhadapnya. Biasanya praktek persabungan ayam agar dapat terus berlangsung dengan aman, karena memiliki orang-orang yang menjadi “backing”. Tugas “backing” adalah melindungi dan menjamin bahwa tidak akan ada gangguan yang dapat menghambat proses sabung ayam. “backing” sabung ayam biasanya adalah jajaran orang-orang yang berpengaruh atau orang-orang yang memiliki kekuatan di wilayah kebijakan dan hukum setempat. “backing” tersebut selalu mendapatkan imbalan atas jasa perlindungannya. Imbalan tersebut diambil dari sebagian bayaran yang diberikan oleh pemilik arena, para pemilik ayam yang akan disabung, dan para penonton yang masuk ke arena persabungan. 
Jumlah uang yang dipertaruhkan di arena persabungan paling sedikit lima ratus ribu rupiah, dan tidak ada jumlah atau batas maksimal untuk itu. Bahkan di beberapa tempat, pertaruhan tidak hanya menggunakan uang tunai, namun ada juga yang mempertaruhkan mobil, rumah atau harta benda lainnya.  Para petaruh berani mempertaruhkan harta mereka pada sang ayam jagoan. Sebuah resiko besar siap ditanggung oleh mereka, apabila sang ayam jagoan tidak memenuhi keberutungannya dan mengalami kekalahan.
Adanya banyak pergeseran ataupun perubahan nilai atas praktek sabung ayam di masa lalu hingga masa kini. Pada masa lalu, sabung ayam identik dengan motif sosial, seperti berkumpul akrab dengan sesama anggota masyarakat dan pelaksanaan ritual-ritual kebudayaan. Pada masa itu, sabung ayam juga memiliki motif personal seperti menunjukan sifat kejantanan si pemilik (yang diwakili oleh ayam miliknya). Sedangkang pada masa kini, sabung ayam lebih menitik beratkan pada motif perjudian, dan tidak ada motif warisan budaya dengan menggunakan ritual-ritual tertentu.  Motif lainnya adalah kesenangan, kepuasan, serta kepopuleran di antara sesama penyabung ayam. Motif perjudian sebenarnya juga ditemukan pada sabung ayam di masa lalu, namun pada masa itu perjudian masih menggunakan budaya sebagai alasannya.

Jumat, 01 April 2011

Mari mengenal Konflik dan Perdamaian

Konflik  menunjukkan pada hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan(Chris Mitchell, 1981).

Apa sih konflik itu?
Kata konflik yang berasal dari bahasa Latin conflictus,  memiliki arti pertentangan. Bila kita padukan arti kata konflik dan kutipan yang tertera diatas, kita dapat mengartikan bahwa sebuah konflik adalah pertentangan yang disebabkan oleh perbedaan maksud, tujuan maupun kepentingan dari beberapa pihak yang tidak bisa berjalan selaras.
Bila kita bertanya pada diri kita, apakah kita pernah berkonflik? Tentu saja jawabannya pasti sudah pernah. Tidak ada seorangpun yang tidak pernah berkonflik.  Telinga kita  pasti sudah sangat akrab mendengar kata bertikai, tawuran, bertengkar, baku hantam, bersengketa, perang dll. Kata-kata tersebut tidak kemudian bisa hilang begitu saja, seiring ketidaksukaan kita terhadap keadaan saat berkonflik tersebut. Dalam kehidupan bersama orang lain (bermasyarakat), kita seringkali memiliki banyak keinginan dan pilihan yang mungkin tidak sesuai dengan keinginan dan pilihan orang lain. Pada saat kita memilih dan mempertahankan keinginan kita, akan ada kemungkinan terjadinya pergesekan atau pertentangan. Hal itu merupakan awal dari sebuah konflik.  

       Sering kali konflik juga diringi dengan kekerasan. Kekerasan yang terjadi biasanya meliputi kekerasan melalui tindakan, perkataan, sikap, struktur atau sistem. Akibat-akibat yang terjadi bila terjadi konflik dengan kekerasan adalah adanya kerusakan secara fisik, mental, sosial dan/atau lingkungan. Selain itu, konflik dengan kekerasan juga membuat banyak pihak tidak dapat mengembangkan potensinya secara penuh.

Hal yang paling diharapkan pada saat kita menghadapi konflik adalah ditemukannya solusi/ pemecahan masalah dari konflik tersebut. Sebanarnya, keadaan yang damai adalah tujuan utama dari seluruh proses penemuan solusi dari sebuah konflik. Damai sendiri dapat berarti terciptanya keadaan tenang atau tidak adanya gangguan. Sehingga bila kita menghubungkan kata konflik dan damai, hal tersebut dapat menjadi hal bertentangan satu sama lain, namun juga tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya. Bila kita mengetahui bahwa keberadaan konflik adalah hal yang biasa kita temui, apalagi bila kita hidup dalam masyarakat yang beragam, maka kita juga pasti sangat mengetahui mengenai kondisi damai yang menjadi negasi atau lawan dari konflik tadi.
            Keadaan damai pasti menjadi idaman banyak orang, apalagi dengan keadaan tersebut, setiap orang dapat dengan tenang dan senang dalam menjalani berbagai hal di dalam kehidupannnya. Terlebih lagi, keadaan itu juga dapat  mendukung terjadinya pengembangan potensi dan kerjasama yang membangun masyarakat secara keseluruhan. Kondisi ideal ini (damai) tidak akan terwujud apabila tidak ada usaha dari tiap orang untuk menjaganya. Karena dengan banyaknya kepentingan dari tiap orang yang memungkinkan terjadinya konflik, maka upaya membangun dan menjaga perdamaian adalah sebuah usaha besar yang menyangkut banyak orang di dalamnya. Di setiap jaman, wilayah, maupun masyarakat selalu ada peraturan ataupun mekanisme yang mengatur penyelesaian konflik dengan jalan damai. Perdamaian yang menjadi cita-cita banyak orang bukan sebuah pekerjaan yang dapat diselesaikan hanya pada satu kurun waktu tertentu, akan tetapi harus dilakukan sepanjang waktu untuk menciptakan rasa aman, yang merupakan pondasi penting dalam proses pengembangan kehidupan yang lebih baik di segala bidang.
Manusia sebagai makhluk yang beragam (heterogen), sangat tidak mungkin memiliki keinginan dan pemikiran yang seragam atau sama. Keragaman tersebut sangat berpotensi memunculkan konflik. Konflik memang hal yang wajar terjadi dalam hidup bermasyarakat. Namun kewajaran itu tidak kemudian menjadi sesuatu yang diperbolehkan untuk terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Karena apabila hal tersebut dibiarkan terjadi dan terus berkembang, maka akan mengakibatkan kerusakan dan kerugian bagi pihak-pihak yang berkonflik maupun orang-orang di sekitar mereka. Oleh karena itu, keberagaman yang ada, harus kita sikapi dengan baik dan bijaksana. Hal tersebut bertujuan agar perdamaian yang kita jaga bersama, dapat membantu kita membangun serta menguatkan masyarakat, dan bukan merusak ataupun mencerai-beraikannya. (Vini)

Identifikasi Diri Remaja dalam Peristiwa Tawuran

        Pembicaraan tentang tawuran diusung pada tulisan kali ini. Mengapa tawuran? karena tawuran merupakan hal yang tidak lagi asing bagi kita, dan sangat lekat dengan bentuk-bentuk konflik yang terjadi di masyarakat kita. Peristiwa tersebut sangat kental terdengar di telinga kita, terlihat di depan mata kita, bahkan acapkali melibatkan kita sebagai korban maupun pelakunya.

      Tawuran merupakan peristiwa perkelahian atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap kelompok yang lain. Tawuran adalah bentuk kekerasan kolektif yang dilakukan dengan sengaja baik dilakukan dengan, maupun tanpa rencana sebelumnya. Bentuk kekerasan kolektif ini membawa akibat yang luas, tidak hanya bagi para pelaku dan korbannya, akan tetapi juga seringkali memberikan dampak yang merugikan bagi orang-orang yang tidak terlibat langsung di dalam peristiwa tersebut.
    Dari beberapa wawancara yang dilakukan terhadap remaja yang berusia 13- 18 tahun, perbandingan yang didapatkan, dari 15 remaja lelaki yang diwawancarai, terdapat 7 remaja yang pernah terlibat di dalam tawuran. Baik tawuran antar sekolah, kampung maupun antar supporter sepak bola. Ada banyak faktor yang menyebabkan mereka terlibat dalam tawuran, namun ada dua faktor yang mampu mewakili penyebab dari keseluruhan alasan dari tawuran remaja, antara lain:
1. Emosi. 
2. Kesetiaan dan identifikasi diri pada kelompok. 
     Faktor emosi adalah alasan yang diajukan oleh para remaja sebagai penyebab keterlibatan mereka dalam tawuran. Penyebab tawuran sebenarnya tidak selalu diawali dari sesuatu yang serius, namun hal yang yang tidak serius sekalipun dapat memicu agresifitas remaja, sekaligus sebagai pemantik potensial terjadinya kekerasan. Remaja memiliki kecenderungan untuk menjawab sebuah masalah dengan jalan kekerasan, baik kekerasan yang dilakukan sendiri maupun dalam kelompok (komunal). Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kegagalan remaja dalam memecahkan masalah melalui komunikasi verbal. Komunikasi non verbal yang diungkapkan melalui perlawanan fisik adalah bentuk sikap mereka untuk menyelesaikan masalah.
     Sedangkan pada faktor kesetiaan dan identifikasi diri pada kelompok, remaja mulai mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari sebuah kelompok. Identifikasi diri ke dalam sebuah kelompok tertentu dapat menjadi sesuatu yang memberi nilai positif, namun dapat juga memberi nilai yang sebaliknya. Pada tahapan perkembangannya, remaja berada pada fase transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Fase tersebut menjelaskan bahwa remaja berada di antara posisi ketergantungan ( dependency ) dan ketidaktergantungan ( interdependency) . Pada fase tersebut, remaja masih mencoba membentuk diri dan mencari gambaran ideal kedewasaan yang akan ditujunya, atau kerap kita ketahui sebagai fase pencarian jati diri. Proses pencarian jati diri juga dialami oleh teman sebaya mereka. Oleh karena itu, dalam proses yang penuh dengan pertanyaan dan kebingungan, remaja cenderung mencari jawabannya dengan tindakan pengidolaan terhadap sesuatu atau pengidentifikasian diri terhadap kelompok-kelompok tertentu. Pembentukan identitas kelompok salah satunya bersumber dari identitas keanggotaan resmi di suatu tempat atau institusi. Contoh dari pembentukan identitas tersebut adalah keanggotaan di sekolah, kampung (warga sebuah kampung), partai politik maupun keanggotaan resmi lainnya.
     Selain bentuk indetifikasi diri pada keanggotan resmi di suatu tempat atau institusi, Identifikasi diri juga dapat bermula dari minat para remaja pada sesuatu. Identifikasi diri terhadap minat tertentu seringkali ditampakkan melalui penampilan anggota kelompok. Misalnya saja remaja yang mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian kelompok Punk. Gaya berpakaian, model rambut, maupun aksesories pendukung penampilan mereka, sangat mewakili perwajahan kelompok mereka. Begitu juga dengan kelompok remaja penyuka gaya dan musik hip hop, dengan pakaian dan celana longgar, topi, dan aksesories pendukung yang juga menunjukkan identitas mereka. Pada remaja yang menjadi supporter bola, juga terdapat pola-pola yang sama, dalam menyeragamkan diri mereka dengan sesama anggota kelompoknya. Hal serupa dapat kita lihat di kelompok remaja yang tergabung di dalam komunitas motor atau mobil. Mereka membuat kelompok sesuai dengan model atau merek tertentu dari kendaraan yang mereka miliki. 
     Hal-hal yang dicontohkan tadi lebih menggambarkan kecenderungan remaja yang menunjukkan identitas kelompok mereka melalui sesuatu yang dapat dilihat secara jelas, yaitu penampilan dan kegandrungan pada benda-benda yang menjadikan mereka sama dengan teman sesama anggota kelompoknya. Bila kita telusuri lebih jauh lagi, proses identifikasi diri melalui penampilan sebenarnya juga dimulai dari pengidolaan pada sosok-sosok yang menjadi ikon dari kelompok tertentu juga. Pengidolaan terhadap sosok tertentu tersebut dapat dikarenakan prestasi sosial, karya, pemikiran, kharima, penampilan fisik, ataupun hal lainnya yang dimunculkan secara pribadi dan dapat mempengaruhi, serta menimbulkan perasaan kagum terhadap sosok idola tersebut. Proses pengidolaan itu juga mendorong remaja untuk membuat kelompok tersendiri. 
     Nilai prestise, kesenangan dan kebanggaan yang terdapat pada sesuatu, adalah beberapa motivasi kuat yang mendorong remaja untuk menjadi anggota sebuah kelompok. Selain itu, banyaknya jumlah orang yang tergabung pada kelompok tertentu, adalah magnet tersendiri bagi remaja untuk menjadi bagian dari identitas kelompoknya. Kegandrungan remaja terhadap kelompoknya dapat menjurus pada fanatisme yang berlebihan. 
     Fanatisme yang berlebihan akan memunculkan sikap antipati terhadap sesuatu atau seseorang yang berbeda dengan diri dan kelompok remaja tersebut. Perbedaan, disikapi dengan negatif dan dianggap sebagai suatu ancaman yang dapat mengganggu atau membahayakan keberadaan kelompok mereka. Ketidaksukaan dan ketidaksetujuan terhadap perbedaan dilihat sebagai sebuah masalah. Masalah yang seharusnya dipecahkan dan dijawab dengan solusi, kemudian ditanggapi dengan fisik atau bahasa non verbal. seringkali, sebuah aksi kecil yang dilakukan oleh kelompok lain, dapat menjadi pemicu muncunyal sebuah reaksi besar yang mendorong kelompok-kelopmpok tersebut untuk melakukan kekerasan kolektif dalam bentuk tawuran.
      Kekerasan yang dilakukan secara personal sudah pasti mengakibatkan kerugian fisik, ataupun non fisik pada orang lain. Maka bila kekerasan dilakukan secara kolektif, akibat yang ditimbulkan olehnya juga akan mencapai skala yang lebih besar dan luas. Kekerasan kolektif terkadang tidak berhenti hanya pada satu peristiwa saja akan tetapi akan dilanjutkan dengan peristiwa-peristiwa yang sama, yang merupakan akibat dari dendam yang berkepanjangan dari kelompok-kelompok yang berkonflik tersebut. Dendam tersebut kemudian diwariskan pada generasi berikutnya di dalam kelompoknya. Warisan dendam kekerasan kolektif ini, merupakan rantai kekerasan yang sangat sulit diputus. Semakin sulitnya rantai kekerasan itu diputus, maka semakin panjang pula daftar kerugian dan ketakutan yang dialami oleh banyak orang. Dampak serius akan semakin berkembang apabila sikap-sikap yang memupuk terjadinya tawuran dibiarkan hidup dan mengakar dalam pemikiran dan sikap dari anggota kelompok-kelompok tersebut. 
      Pencegahan terjadinya sebuah peristiwa tawuran dapat dimulai dengan penerimaan atas adanya perbedaan. Perbedaan tidak disikapi secara negatif dan dianggap sebagai sesuatu yang dapat mengancam keberadaan atau keberlangsungan kegiatan suatu kelompok. Perbedaan harus diterima keberadaannya sebagai sebuah kewajaran, yang dapat memperkaya keberagaman minat dan pilihan dalam hidup. Selain itu, penghargaan pada sesuatu yang berbeda adalah bentuk kedewasaan, yang merupakan hasil dari proses pemikiran yang panjang dan matang dari seseorang ataupun sekelompok orang.
      Hal lain yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan terjadinya tawuran sebagai adalah dengan mekanisme dialog. Komunikasi verbal merupakan salah satu cara yang paling tepat dalam proses penyelesaian masalah atau konflik. Alasan dari hal tersebut adalah karena mekanisme dialog dapat menggali, memetakan dan mengemukakan hal-hal yang menjadi masalah diantara pihak yang berkonflik. Sehingga terjadi proses negosiasi yang menghasilkan jalan keluar dan saling menguntungkan, tanpa harus merugikan secara fisik maupun non fisik bagi kedua belah pihak.
     Selanjutnya, hal yang dapat mencegah terjadinya tawuran adalah penanaman pemikiran tentang konsekuensi atau akibat dari tawuran bagi diri sendiri, kelompok dan dampaknya bagi masyarat luas yang tidak terlibat langsung dalam tawuran. Akibat dan dampak dari setiap kekerasan pasti sangat membekas bagi pelaku dan korbannya, baik secara fisik dan nonfisik, pasca tawuran maupun di masa depan. Korban meninggal, korban cacat, luka berat, luka ringan, muncul trauma psikologis, kerugian sosial dan ekonomi, adalah beberapa contoh akibat dan dampak yang diakibatkan tawuran sebagai bentuk kekerasan kolektif. 
    Kita dapat belajar dari pengalaman yang terjadi sebelumnya, bahwa kerugian dan kesakitan yang hadir sebagai akibat dan dampak, tidaklah setimpal dengan apapun yang diperjuangkan dalam kekerasan dalam tawuran. Tidak ada kekerasan yang mampu mendatangkan kebanggaan dan kenyaman, maka tidak ada alasan apapun untuk membenarkan terjadinya suatu kekerasan, baik kekerasan yang dilakukan secara pribadi ataupun kolektif.
 

Semua tentang Vini Biroe Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting